Recent Articles

Tuesday, August 16, 2011

INDUSTRI PLASTIK

0 komentar



a. Definisi

Plastik mencakup semua bahan yang mampu dibentuk, mencakup semua bahan sintetik organic yang berubah menjadi plastis setelah dipanaskan, dan mampu dibentuk dibawah pengaruh tekanan. Senyawa kimia organik yang di dibentuk sebagian besar dari elemen karbon ( C ) dan Hidrogen ( H ) dan elemen-elemen lain seperti oksigen dan Nitrogen. Sehingga plastik merupakan material organis yang merupakan :
- Terbentuk dari molekul
- Diolah melalui proses kimia dan nature produk
- Melalui proses sintesa dan material-material lainnya.
Sifat plastik dipengaruhi oleh cara atom bersenyawa membentuk molekul dan tergantung dari molekul-molekul yang menyusunnya serta cara molekul itu bersatu.Molekul dalam plastik menyatu menjadi sebuah rangkaian panjang yang disebut polimer.

Bahan plastik terdapat dari batu bara dan minyak bumi, melalui menara fraktioer dihasilkan 4% plastik (PE, dan PVC). Dimana cara pembentukan makromolekul melalui :
a. Polymerisasi yaitu menyatukan beberapa molekul yang serupa, diamana membentuk molekul besar polymerisate contohnya PVC, PS, PMMA, PE.
b. Polykondensasi yaitu ikatan beberapa molekul membentuk makromolekul yang besar melalui proses pemisahan salah satu atom untuk mengikat molekul kecil, contohnya PA, PC .

b. Metoda Pengerjaan Plastik Secara Umum

Secara umum metoda pengerjaan plastik terbagi menjadi tiga jenis, namun yang akan di bahas nantinya hanya dua jenis, yaitu thermosetting dan thermoplastik.

a). Thermoplastik,
Thermoplastik yaitu bahan plastic yang bersifat lentur bila dipanaskan atau dibentuk dengan panas, dapat didaur ulang, dapat diproses kembali dengan pemanasan dan penekanan menjadi bentuk baru. Contoh dari plastic thermoplastic adalah acetal, acrylic, cellulose acetate, nylon, polyethylene, polystyrene, vinyl dan nylon.
Thermoplastic elastomers atau TPE adalah material thermoplastic yang bersifat fleksibel meskipun dalam kondisi dingin.
b). Thermosetting
Thermosetting berbeda dengan thermoplastic yakni tidak dapat digunakan lagi jika telah dibentuk. Sifat lain yang dimiliki oleh thermosetting adalah dapat menahan panas yang tinggi sehingga dapat digunakan sebagai isolator panas. Contoh dari plastic jenis thermosetting adalah amino, epoxy, phenolic, polyesters, butyl, latex, neoprene, nitrile, polyurethane dan silicon.
c). Elastomer
Elastomer bersifat fleksibel yang dapat ditarik sekitar dua kali panjang awalnya pada temperature kamar dan dapat kembali pada panjang awal ketika dilepaskan. Contoh dari plastic jenis elastomer adalah karet. Selain itu juga dapat digunakan sebagai additive (penambah) untuk meningkatkan kekuatan terhadap impact (benturan).





c. Proses Pengerjaan Pada thermoplastik

1) Mesin Injeksi

Pengerjaan dengan cara ini adalah untuk membuat produk dari plastik dalam jumlah besar. Mesin cetak injeksi mirip dengan mesin pengecoran cetak (die casting). Bahan termoplastik yang tadinya berbentuk butiran dicairkan lalu diinjeksikan dalam rongga cetakan di mana bahan membeku. Bahan ini dapat diubah berulang kali dari bahan padat menjadi cairan tanpa mengakibatkan terjadinya perubahan susunan kimia, oleh karena itu bahan ini sangat sesuai untuk pemrosesan yang cepat.
Kapasitas mesin cetak injeksi tergantung pada besar gaya tekan pada cetakan dan banyaknya bahan yang yang dapat diolah per siklus. Umumnya mesin cetak injeksi mempunyai gaya tekan yang berkisar antara 0,4 hingga 22 MN, dan jumlah bahan yang dapat dicetak bervariasi antara 1 gram sampai 9 kg.

Gambar Contoh mesin cetak injeksi untuk plastik

Gambar di atas merupakan skema yang menggambarkan operasi mesin cetak injeksi.
Bahan cetak diumpamakan di bawah pengaruh gaya gravitasi dari pengumpan (hopper) melalui alat pengukur, langsung masuk ke dalam ruang pemanas, dimana bahan mengalami plastisasi. Selanjutnya diinjeksikan ke dalam cetakan tertutup di bawah tekanan yang cukup besar. Produk cetakan di bawah pengaruh tekanan yang cukup besar. Produk cetak akan mengeras dalam rongga cetakan di bawah pengaruh pendinginan air yang bersirkulasi melalui- saluran-saluran dalam cetakan. Suhu ruang pemanas pada cetakan diatur antara 120-260°C, tergantung pada bahan dan besarnya cetakan yang digunakan.
Pada beberapa jenis mesin cetak, proses injeksi untuk bahan termoplastik menggunakan mesin ulir umpan-balik, menggantikan mesin penekan dari pengumpan bahan dialirkan ke skrupo yang berputar yang membawa bahan ke bagian depan dari tabung ekstrusi.
Panas dihasilkan oleh pemanas listrik yang mengelilingi silinder skrup ditambah panas gesekan yang ditimbulkan skrup yang berputar. Skrup berputar terus dan bahan yang terplastisir masuk ke dalam cetakan. Bahan tersebut akan berada di situ sampai membeku. Suatu katup akan menghalangi bahan masuk kembali ke dalam silinder ekstrusi. Keunggulan cetak injeksi termoplastik diantaranya :
a. Jauh lebih cepat dibandingkan cetak tekan .
b. Cetakan berada pada suhu tetap biasanya 75 sampai 95°C .
c. Siklus produksi berkisar antara dua sampai enam cetakan per menit .
d. Harga cetakan lebih murah karena lebih sederhana .
e. Berbagai bentuk produk, baik rumit maupun yang tipis dapat dihasilkan.
f. Pemakaian bahan hemat karena spru dan saluran masuk dapat digunakan kembali.
Press dingin
Pada pengerjaan ini biasanya resin + pengeras + katalisator sudah menjadi satu.
Bahan tersebut dicetak pada suatu cetakan press dan dibiarkan dalam temperatur ruang. Untuk pengerasan cepat dapat dibantu dengan temperatur sampai 60°C. Biasanya bahan untuk proses pengerjaan ini berupa lembaran.
Gambar Pengerjaan plastik dengan press dingin
Press panas
Pada prinsipnya prosesnya sama dengan proses press dingin. Tetapi bahan yang digunakan disini adalah resin + pengeras + panas. Jadi bukan katalisator seperti pada press dingin. Panas yang dibutuhkan adalah 90°- 110°C , dan cetakan yang digunakan adalah dari aluminium, baja, besi tuang.

Injeksi press
Pengerjaan dengan injeksi press ini menggunakan mesin otomatis, dimana bahan akan dicetak disimpan dalam suatu tempat penyimpanan diinjeksikan melalui gate (lubang masukan) kedalam cetakan tertutup yang dipanaskan untuk dipress.


Gambar Pengerjaan plastik dengan injeksi press
Injeksi tuang
Pengerjaan dengan injeksi ini persis sama dengan pengerjaan injeksi untuk Thermoplastik. Untuk pengerjaan ini dibutuhkan temperatur cetakannya antara 1450 sampai 180°C. Tekanan injeksinya 50.

Gambar Pengerjaan plastik dengan injeksi tuang

2) Blow Moulding
Untuk pengerjaan cetak tiup ini dibutuhkan mesin ekstrusi dan cetakan. Terutama dimanfaatkan untuk membuat wadah berdinding tipis dari bahan resin termoplastik. Suatu silinder bahan plastik yang diseparison diekstrusi secepat mungkin dan dijepit pada ujung cetakan belah seperti terlihat pada gambar 2.5 di bawah ini.


Gambar Mesin cetak tiup
Pada waktu cetakan ditutup parison dipotong akibat tekanan udara yang memadai akibat tertekan ke permukaaan cetakan. Cetakan harus mempunyai saluran udara yang memadai agar permukaan poroduk mulus. Segera setelah produk cukup dingin, cetakan dibuka dan produk dikeluarkan. Proses cetak tiup mirip dengan proses pembuatan botol dalam industri gelas.
Pada gambar diatas ini tampak sebuah mesin untuk membuat botol secara kontinu. Suatu pipa yang terbuat dari bahan termoplastik diekstrusi dalam cetakan yang terbuka. Kedua ujung pipa plastik tersebut terjepit dan tertutup dan udara tekan dialirkan ke dalam pipa kosong tersebut melalui pipa kosong tersebut melalui pipa pusat dalam kepala cetakan. Contoh produk cetak tiup diantaranya botol,pelampung, kemasan untuk bahan kosmetik, botol detergen cair, botol air panas, dll. Bahan baku yang digunakan dalam proses cetak tiup diantaranya polietilin, asetan selulosa, polipropilen dan asetan selulosa.

3) Ekstrusi
Pada prinsipnya semua Thermoplastik dapat diekstrusi, tetapi disini berlaku thermoplastik yang mempunyai viskositas tinggi. Di bawah ini merupakan prinsip kerja ekstrusi.
Gambar prinsip kerja ekstrusi

Gambar Bagian-bagian mesin ekstrusi

Pertama-tama Thermoplastik baik berupa tepung atau granulat dilelehkan pada Ekstruder (1), kemudian diinjeksikan melalui cetakan (2), setelah keluar dari cetakan yang sesuai dengan profil yang diinginkan dinasukkan ke dalam alat kalibrasi (3).
Keluar dari alat kalibrasi masuk tangki air (4) untuk didinginkan, setelah dingin dimasukkan ke ban penarik (5) kemudian dipotong-potong sesuai dengan ukuran yang diminta pada alat potong (6) dan disusun pada alat penyusun (7).
Suatu proses yang dikenal dengan nama pelapisan ekstrusi digunakan secara meluas untuk melapisi kertas, kain, dan lembaran logam. Bahan thermoplastik diekstrusi melalui cetakan yang pipih (lihat gambar di bawah ini) pada lembaran kertas/kain atau logam yang bergerak dibawahnya, lapisan yang diekstrusi yang masih lunak, melekat pada lapisan bawahnya kemudian ditekan oleh rol karet pada rol logam.

Sisi lapisan dipotong sebelum digulung. Meskipun setiap bahan thermoplastik dapat diekstrusi untuk pelapis, bahan yang paling banyak digunakan adalah vinil, polietilen, dan polipropilen. Proses lapis ekstrusi lainnya yang penting juga adlah penyalutan isolasi pada kawat dan kabel.
Roll
Tidak hanya metal yang dapat diroll, Thermoplastik pun dapat dikerjakan dengan cara ini. Secara prinsip semua Thermoplastik dapat dikerjakan dengan cara ini. Tetapi pada kenyataannya Thermoplastik yang banyak dikerjakan dengan sistim roll ini adalah PVC keras,PVC lunak,PS,ABS,PE,PP.
Bentuk Roll
Biasanya Roll untuk pengerjaan lembaran ini terdiri dari 4 atau 5 roll utama. Susunan dari roll ini ada bermacam – macam , yaitu susunan I, L, F, dan Z.


Gambar Skema letak roll dalam pengerjaan plastik

Prinsip kerja mesin Roll.
Termoplastik dilelehkan pada ekstuder kemudian diekstrusi keluar. Plastic yang diekstrusi ini dipindahkan pada ban berjalan dan di-roll awal. Dan roll ini dipindahkan pada ban berjalan lagi, dibawa pada alat pengaduk, keluar dari alat ini dipindakan dengan ban berjalan kemesin rollnya.
Di mesin ini Thermoplastic diroll sesuai dengan ukuran yang diinginkan dan dilakukan pada roll penarik kemudian didinginkan pada roll pendingin dan kemudian digulung.



Ekstrusi plastik lembaran tiup
Untuk pembuatan kantong plastik dimana bahan dasarnya adalah plastik lembaran yang tepinya tanpa sambungan, atau seperti selang besar yang tipis. Biasanya bahan yang diproses cara ini adalah PE, PP, PVC, dan PS. Pembuatan lembaran ini menggunakan mesin ekstrusi tiup.
GambarMesin ekstrusi tiup
Cara kerjanya :
Thermolastik pertama kali dilelehkan pada ekstruder (1) kemudian diinjeksikan pada alat tiup (3). Kemudian didinginkan pada ring pendingin (4). Setelah didinginkan Thermoplastik mengembung karena ada udara yang ditiupkan dan ditarik keatas kemudian dilipat dengan roll (5) dan ditarik kebawah akhirnya digulung pada penggulung.
Cara kerja mesin injeksi :
Cetakan plastik yang digunakannya ini terdiri dari dua bagian. Yaitu bagian tetap dan bagian yang bergerak. Cetakan bagian yang tetap akan dicekam pada meja mesin yang tetap, sedang cetakan bagian yang bergerak akan dipasang pada meja mesin yang dapat bergerak maju mundur, dalam hal ini akan membuka dan menutup kedua belah cetakan plastik tadi.
Penginjeksian berlangsung pada saat cetakan tertutup. Setelah penginjeksian akan ada tekanan berikutnya yang disebut “back pressure” supaya tidak ada tekanan balik dari cetakan dan untuk memadatkan struktur plastik. Setelah proses ini berlangsung beberapa detik, maka ada proses pendinginan. Proses pendinginan inipun berlangsung beberapa detik dan kemudian cetakan membuka, setelah membuka produk yang ada dalam cetakan akan didorong jatuh. Kemudian cetakan akan kembali menutup untuk penginjeksian selanjutnya. Satu putaran proses tersebut disebut siklus injeksi.

4) Vacum Forming (Thermo forming)
Proses pemberian bentuk vakum (vaccum snappack forming) seperti pada gambar x di bawah ini. Setelah lembaran plastik dipanaskan dijepit, ruang cetakan divakumkan, akibatnya lembaran tersebut tertarik kebawah, lihat garis putus. Cetakan atas kemudianditekankan pada lembaran yang akan dibentuk. Vakum ditiadakan dengan perlahan-lahan yang menyebabkan lembaran tersebut kembali kecetakan atas.

Gambar Pemberian bentuk vakum

Pada gambar c dipaparkan cara pemberian bentuk pada lembaran dengan menggunakan tekanan udara. Di sini lembaran yang telah dipanaskan ditiupkan pada permukaan cetakan. Proses ini digunakan
untuk membuat produk yang rumit yang tidak memerlukan ketelitian yang ketat. Cacat permukaan yang tidak terlalu mencolok masih diperbolehkan. Dengan menggunakan pelumas sintetis khusus dalam cetakan, kecenderungan untuk terjadi cacat permukaaan dapat ditekan.Pada pembentukan selubung (drape forming), lembaran plastik dijepit kemudian direntangkan di atas permukaaan cetakan, atau cetakan ditekankan ke dalam lembaran tadi. Contoh produk dari proses thermoforming ini, diantaranya: tempat penyimpanan telur, bungkus tablet, tempat jelly, pintu bagian dalam interior mobil,dll.

5) Pembentukan lembaran plastik (Calendaring)
Penggilingan (Calendaring) adalah proses pembuatan lembaran yang tipis dengan cara mendesak bahan termoplastik di antara rol seperti pada gambar di bawah ini. Bahan yang terdiri dari resin, plastisor, pengisi dan zat pewarna diaduk dan dipanaskan sebelum diumpankan ke dalam penggilingan. Tebal lembaran yang dihasilkan tergantung pada sela antara kedua rol yang mendesak plastik tersebut dan pada kecepatan rol penyeles yang merentang plastik tersebut. Sebelum lembaran digulung, plastik melalui rol yang didinginkan dengan air.Film dan lembaran vinil, polietilindan asetat selulosa dan ubin vinil dibuat dengan cara karet vulkanisir mentah untuk memvulkanisir ban. Contoh produk dari proses pengerjaan ini, diantaranya: plastik film mobil, taplak meja, karpet (alas) plastik,dll.


Gambar Pembuatan lembaran dengan proses penggilingan

6) Rotational Casting (Roto Casting)
Pada cetak rotasi suatu cetakan yang berdinding tipis berputar melalui dua sumbu secara serempak. Sumbu pertama dan kedua tegaki lurus sesamanya. Setelah diisi bahan plastik, sambil berputar cetakan dipanaskan, hal ini menyebabkan partikel meleleh pada bagian dalam cetakan membentuk lapis dan lapisan hingga akhirnya bahan menjadikan rotasi dengan dua sistem pemasangan cetakan.
Skema alat untuk proses cetakan rotasi dengan dua sistem pemasangan cetakan.

Gambar Skema alat untuk proses cetakan

Metode serbuk rotasi berbeda dengan proses cetak lainnya, pada proses cetak lainnya diperlukan panas dan tekanan untuk plastisitasi resin sedang dalam proses serbuk rotasi hanya memerlukan pemanasan cetakan.
Cetakan aluminium cor yang tipis dapat digunakan dalam cetakan rotasi, begitu pula tembaga yang dibentuk secara elektro atau lembaran logam. Bagian harus rapat sambungannya sehingga cairan tidak dapat memasuki cetakan dan menyebabakan pelengkengungan. Kedua sumbu cetakan biasanya dijalankan oleh motor yang berbeda; biasanya dengan perbandingan 3:1 antara sumbu utama dan sumbu tambahan. Kecepatan putar sumbu utama biasanya kurang dari 18 ppm sedang suhu cetakan berkisar antara 260 sampai 370º. Prinsip cetakan rotasi dapat dilihat dalam gambar 2.1.
Gambar Skema sistem cetak dengan lengan-putar

Pada gambar sebelah kiri terlihat cetakan tunggal, sedang pada lainnya mpat cetakan dirakit pada satu lengan. Lengan dipasang sedemikian sehingga dapat dimasukkan ke dalam ruang pendingin. Sumbu dan cetakan dapat berputar 90ºC, dari dapur pemanas dan ruang pendingin.
Penambahan ruang pendingin kedua dan gerak putar (garis terputus-putus) mengurangi waktu siklus cetak. Beberapa desain lainnya mempunyai motor dan sumbu putar pada trak sehingga dapat digerakkan ke luar masuk dapur, ruang pendingin dan tempat pengeluaran.
Keunggulan dari cetak rotasi diantaranya :
a. Biaya investasi yang rendah.
b. Fleksibilitas yang memungkinkan dibuatnya berbagai jenis produk pada mesin yang sama.
c. Biaya peralatan yang murah.
d. Benda cetak yang tertutup seluruhnya maupun yang terbuka ujung-ujungnya.
e. Detil yang tajam.
f. Penyelesaian permukaaan yang halus dan biaya produksi yang rendah
Produk dengan menggunakan cetak rotasi dari serbuk dapat mencapai ukuran yang cukup besar. Sebagai contoh: kursi anak-anak, drum untuk menyimpan bahan makanan berkapasitas 0,2 m³, kotak gramafon, pelindung mesin, tempat sampah dan tangki bahan bakar. Perangkat mesin yang sama dapat digunakan untuk mencetak serbuk termoplastik atau plastisol.

7) Foaming (Expanding)
Plastik dapat dibusakan/dileburkan (Foaming) dalam beberapa cara. Plastik yang telah dibusakan merupakan selular atau pelemuran plastik, memiliki banyak kegunaan yang sangat penting.

Gambar Skema daur ulang dengan proses foaming

Langkah-langkah pembuatan plastik dengan foaming pertama-tama adalah udara dikocok dan dimasukan ke dalam dispersi plastik, yang kemudian akan mengeras karena panas atau keadaan katalik dari keduanya.
Kemudian cairan dengan titik didih rendah dimasukan juga dan bercampur akibat panas. Gas karbon dioksida akan dihasilkan dalam plastik akibat reaksi kimia. Kemudian gas nitrogen, dilarutkan juga dalam plastik di bawah tekanan dan akan meluas dengan pengurangan tekanan ketika peleburan terjadi. Maka terbentuklah manik-manik berongga kecil yang tertanam dalam matriks resin.

Gambar Contoh mesin foaming
Produk yang dihasilkan dari proses foaming adalah styrofoam, plastik polistiren.











Gambar Produk hasil foaming

8) Spinning
Spinning, sebagaimana proses yang digunakan untuk fiber alami, dengan cara menggulung fiber-fiber pendek menjadi panjang secara berkelanjutan. Dalam industri fiber modern, cara ini digunakan untuk semua proses produk yang berkelanjutan. Suatu fiber dapat didefinisikan sebagai sebuah unit yang memiliki panjang sekurang-kurangnya 100 kali diameternya. Satu individu dari panjang yang berkelanjutan disebut filamen.
Gulungan bersama-sama beberapa filamen menjadi satu disebut benang filamen. Proses pabrikasi utama pembuatan fiber adalah spinning. Dalam beberapa kasus polimer akan meleleh atau larut dalam larutan pelarut dan dihasilkan bentuk filamen.

Gambar Proses pengerjaan dengan Spinning

Skema 3 jenis pengerjaan Spinning

Gambar Penggulungan fiber dalam Spinning
Contoh Produk yang dihasilkan dari proses Spinning adalah jaring, benang
layangan, jala ikan .
9) Blown Film
Blown film extrusion adalah proses pembuatan lembaran plastic untuk kebutuhan pengepakan di industry. Mesin ini memproses plastic dengan cara menarik plastic melalui circular die, dan metode ini adalah metode umum dalam pembuatan plastic yang dapat digunakan untuk menghasilkan bermacam macam jenis pengepakan dan laminasi. Plastik cair ditarik melalui sebuah die di dalam mesin untuk dibentuk manjadi sebuah pipa yang tipis. Pipa tipis ini akan ditiup oleh udara sehingga pipa ini seperti balon, lembaran panas dari plastic kemudian didingainkan dengan menggunkan udara dingin dan kemudian diratakan. Jenis resin yang digunakan adalah HDPE, LLDPE, LDPE, dll.
Diagram pengerjaan plastik dengan blown mold



Contoh mesin blown mold

Contoh produk hasil blown mold
d. Proses Pengerjaan Pada Thermosetting

1) Hand Lay Up
Proses ini adalah proses pengerjaan yang termurah, dimana disini kita hanya membutuhkan model sebagai cetakan dan beberapa peralatan lainnya seperti kwas, Roll busa, Roll grip terbuat dari PTFE, PE, atau Alumunium.
Cara mengerjakannya:
 Siapkan cetakan. Cetakan biasanya terbuat dari kayu, gips, atau metal.
 Lapisi cetakan dengan bahan pemisah. Bahan pemisah ini nanti akan menjaga jangan sampai resin melekat pada cetakan.
 Lapisi cetakan dengan resin dengan menggunakan kwas.
 Setelah resin, lapiskan potongan serat gelas dalam bentuk lembaran, ditekan juga dengan menggunakan roll.
Untuk mendapatkan ketebalan yang diinginkan tinggal mengulang urutan seperti diatas, hanya tidak perlu lagi melapiskan bahan pemisah. Pengerasannya pada temperatur kamar atau dalam ruangan khusus yang dipanaskan pada 40-60ºC.
Adapun ciri-ciri dari proses pengerjaan ini, diantaranya: untuk produk dengan jumlah yang sedikit, bagian luar produk halus, dan bagian dalam produk tidak presisi. Sebagai contoh: papan luncur/perosotan, bak mandi, kursi pada bus,dll.

2) Reaction Injection Moulding (RIM)
Untuk pengerjaan dengan proses injeksi ini dibutuhkan cetakan tertutup. Kemudian dengan vakum atau dengan tekanan campuran resin diinjeksikan kedalam cetakan. Pengerasan bisa dengan suhu kamar atau langsung bila cetakannya dari metal dipanaskan pada cetakannya.

Gambar Pengerjaan plastik dengan RIM
3) Cetak Tekan (Compression Moulding)
Prinsip cetak tekan dapat dilihat pada gambar,sejumlah bahan dimasukan dalam cetakan logam yang telah dipanaskan terlebih dahulu.Ketika cetakan ditutup, bahan yang telah lunak tertekan sehingga mengalir mengisi rongga cetakan. Bahan yang digunakan dapat berupa serbuk atau tablet pembentuk.Tekanan yang lazim digunakan berkisar antara 0,7 sampai 55 Mpa, tergantung pada bahan yang digunakan dan bentuk produk.
Suhunmya berkisar antara 120 hingga 205°C. Panas sangat penting bagi termoseting, karena pertama-tama diperlukan untuk plastisasi, kemudian untuk polimerisasi atau pengerasan. Serbuk uintuk dipanaskan secara merata suatu hal yang cukup sulit karena daya hantar panas bahan tidak baik. Suatu siklus pemanasan dan pendinginan cetakan yang cepat akan menimbulkan kesulitan. Produk mungkin cacat sewaktu dikeluarkan bila pendinginan cetakan tidak sempurna. Ada berbagai macam jenis mesin press hidrolik mulai dari yang
dikendalikan oleh tangan sampai dengan yang otomatis. Fungsi dari pres ialah memberikan tekanan dan panas yang ckp sekaligus sehingga terjadi plastisasi yang sempurna dari bahan. Panas yang diperlukan dapat dialirjkan melalui pelat pemanas, atau langsung dari ua, cairan yang dipanaskan, listrik, atau arus berfrekuensi tinggi.

Gambar Proses dengan reaction injection molding
4) Cetak Transfer (Transfer Moulding)
Pada cetak transfer, serbuk termoseting atau benda prabentuk diletakan pada tempat tersendiri atau dalam ruang tekanan di atas ronnga cetakan.Pada proses ini bahan mengalami plastisasi akibat panas dan tekanan dan di injeksikan ke dalam rongga cetakan, sebagai cairan panas, disini bahan tersebut kemudian mengalami pengerasan.
Gambar Proses cetak transfer
5) Spraying
Pengerjaan plastik dengan cara spraying menggunakan suatu alat penyemprot yang dikendalikan oleh seorang operator atau control computer, dan hal ini merupakan hal yang cukup popular yang digunakan sejak pertengahan abad 21. Hal ini dimungkinkan dengan secara hati-hati meregulasikan deposit material dan akan sangat efektif dalam pembentukan plastik di industry.
Pembuatan produk dengan cara spraying sering digunakan sebagai komponen pendukung untuk struktur solid dan aplikasi lainnya. Alat penyemprot itu sendiridilengkapi dengan mekanisme yang dapat memotong serat fiber menjadi helaianyang kemudian didistribusikan sepanjang permukaan cetakan. Kemajuan teknologi dengan cara spraying telah terbukti lebih efisien dan merupakan sistem yang lebih bersih, dengan mengurangi emisi stirena, kapasitas penyemprotan yang lebih besar dan keseragaman lebih baik diantara polam penyemprotan. Alat penyemprot dihasilkan dengan konfigurasi yang bermacam-macam dengan kemampuan yang berbeda--beda.
Gambar Pengerjaan plastik dengan cara spraying

6) Casting (Pengecoran)
Bahan termoset yang dicor antara lain adalah phenol, polyester, epoksi dan resin alyl. Yang terakhir ini sangat cocok untuk lensa optik dan penggunaan lainnya yang memerlukan plastik yang sangat jernih. Resin ini mudah dicor karena memiliki sifat fluiditas yang baik. Akrilik digunakan untuk mengecor benda yang tembus cahaya dan lembaran.
Plastik di cor apabila jumlah tidak seberapa. Sering kali dibuat cetakan terbuka dari timah hitam dengan menceluokan mandril baja dengan bentuk tertentu dalam timah hitam cair yang kemudian dilepaskan setelah membeku. Dapat digunakan inti timah hitam, adukan semen atau karet bila diperlukan. Cetakan yang kosong dibuat dengan cara pengecoran ‘slush-casting’ :yaitu bahan baku dituang dalam cetakan, lalu kelebihannya dikeluarkan kembali.
Benda padat dapat dibuat dengan menggunakan cetakan dari adukan semen,gelas, kayu, logam, atau karet sintetis.Cetakan, baik untuk proses kompresi atau proses injeksi dibuat dari baja yang telah mengalami perlakuan panas. Pembuatan cetakan memerlukan pemesinan dan presisi yang sama dengan cetakan untuk pengecoran tekan pada logam terdapat perbedaaan dalam konstruksi karena ciri khas bahan yang diproses, diantaranya :
a. Diperlukan tirus dan sudut-sudut untuk memudahkan pengeluaran benda dari cetakan.
b. Pen ejector hendaknya ditempatkan di titik-titik dimana jejak pen tersebut tidak menggangu.
Plastik menglami penyusutan antara 0,003 hingga 0,009 per milimeter (0,3-0,9%), itupun tergantung pada jenis bahan dan cara pemrosesan.
Cetakan injeksi terdiri dari dua bagian, satu bagian yang terpasang dan bagian lainnya yang dapat digerakan. Permukaaan kedua bagian ini diselesaikan dengan teliti dan saling menutupi dengan tepat. Ruang cetak harus sentral terhadap saluran turun pada cetakan tetap sehingga bahan dari tekanan diteruskan secara merat. Pen pemandu dilekatkan pada belahan cetakan. Namun, sebaliknya diusahakan agar bagian luar dari benda cetak terdapat di belahan cetakan tetap.
Pada proses pendinginan bahan cenderung menyusut dan terlepas dari dinding cetakan, produk kemudian dapat dikeluarkan bila cetakan dibuka. Produk yang masih melekat pada inti belahan cetakan yang dapat bergerak, dikeluarkan dikeluarkan dengan menggerakan mekanisme ejector. Pada cetakan injeksi terdapat saluran pendingin pada kedua belahan cetakan agar dapat dijaga suhu benda cetak yang uniform yang umumnya terbuat dari bahan termoplastik. Bahan didesak masuk ke dalam cetakan di bawah tekanan 30 sampai 275Mpa dan memasuki ruang cetak pada suhu sekitar 50°C. Benda dikeluarkan oleh pen ejector atau pelat setelah cetakan terbuka.Inti yang diperlukan diletakan pada belahan cetakan yang bergerak.
Gambar Skema perubahan sistem plastisol dari dispersi liquid ke solid

Karena penyusutan, ada kecenderungan dari produk untuk melekat pada inti, sehingga memudahkan pengeluarannya dari belahan cetakan tetap ketika cetakan dibuka.
Saluran udara yang memungkinkan keluarnya udara yang terperangkap sangat kecil dan sehingga memudahkan keluarnya udara dengan cepat.

Read More...

INDUSTRI BAHAN PEWARNA DAN PENCELUP

0 komentar



1. Sejarah Industri Pewarna dan Pencelupan
Sejak 2500 tahun sebelum masehi pewarnaan pada bahan tekstil telah dikenal di negeri Cina, India dan Mesir. Pada umumnya pewarnaan bahan tekstil dikerjakan dengan zat-zat warna yang berasal dari alam, misalnya dari tumbuh-tumbuhan, binatang dan mineral-mineral. Pencelupan yang mereka lakukan memerlukan waktu yang lama dan sulit. Demikian pula sifat-sifat zat warna alam pada umumnya kurang baik, misalnya jarang diperoleh dalam keadaan murni, kadarnya tidak tetap, warnanya terbatas, sukar pemakaiannya, serta ketahanan atau kecerahannya kurang baik.
Baru pada tahun 1856 William Henry Perkin seorang mahasiswa berkebangsaan Inggris menemukan senyawa Mauvein dari proses oksidasi senyawa anilin tidak murni. Senyawa tersebut merupakan zat warna sintetik pertama kali diketemukan orang, dan merupakan zat warna basa yang dapat mencelup serat-serat binatang secara langsung. Kemudian diikuti penemuan zat warna asam dengan proses pengsulfonan zat warna basa oleh Nicholson pada tahun 1862. Lightfoot pada tahun 1863 mencelup serat kapas dengan senyawa anilin yang dioksidasi di dalam serat, yang kemudian dikenal sebagai zat warna Hitam Anilin.


Berdasarkan pada reaksi diazotasi dan kopeling pada 1865 dibuat zat warna Bismark Brown dengan mereaksikan senyawa antara metafenilen diamina. Reaksi-reaksi tersebut diikuti dengan penemuan pencelupan dengan naftol dan garam diazonium pada 1880 oleh Road dan Holliday, dan pada tahun 1884 dibuat zat warna direk pertama yang disebut Congo Red.
Zat warna belerang diketemukan oleh Raymond Vidal pada tahun 1893 dengan memanaskan senyawa natrium paranitro fenol. Pada tahun 1901 Rene Bohn membuat zat warna bejana Indahthrene Blue. BASF memproduksi zat warna Ergan, yakni zat warna kompleks khrom dari zat warna azo asam salisilat, dan Grisheim Elektron memproduksi naftol AS kira-kira pada tahun 1912 yang kemudian diikuti zat warna Neolan oleh Society of Chemical Industry pada tahun 1915. Zat warna Rapid Fast yang merupakan campuran senyawa naftol dan garam diazonium yang distabilkan diketemukan sekitar tahun 1920.
Perkembangan zat warna bejana yang larut muncul pada akhir tahun 1912, setelah diketemukan oleh Bader dan Sunder senyawa Indogosol, zat warna untuk mencelup serat-serat hidrofob dikembangkan oleh ICI, dengan diproduksinya zat warna Solacet pada tahun 1936. Kemudian kemajuan zat warna sintetik lebih menonjol lagi setelah diketemukannya zat warna reaktif untuk serat selulosa pada tahun 1956 oleh Imperial Chemical Industry dengan nama dagang Procion.
Pada waktu sekarang hampir semua pewarnaan bahan tekstil dikerjakan dengan zat-zat warna sitentik, karena sifat-sifatnya yang jauh lebih baik dari zat-zat warna alam, misalnya mudah diperoleh komposisi yang tetap, mempunyai aneka warna yang banyak dan mudah cara pemakaiannya.
2. Pengertian Bahan Pewarna dan Pencelup
Pencelupan adalah proses pemberian warna secara merata pada bahan tekstil baik berupa serat, benang maupun kain. Pemberian warna tersebut dilakukan dengan berbagai cara, bergantung pada jenis serat, zat warna dan mesin yang digunakan.
Zat warna tekstil masing–masing mempunyai sifat–sifat tertentu, baik sifat tahan luntur maupun dalam cara pemakaiannya. Zat pewarna secara sederhana dapat didefinisikan sebagai suatu benda berwarna yang memiliki afinitas kimia terhadap benda yang diwarnainya. Bahan pewarna pada umumnya memiliki bentuk cair dan larut di air. Pada berbagai situasi, proses pewarnaan menggunakan mordant untuk meningkatkan kemampuan menempel bahan pewarna.
3. Jenis-jenis Zat Warna
a. Klasifikasi Zat Warna
Zat warna dapat digolongkan menurut cara diperolehnya, yaitu zat warna alam dan zat warna sintetik. Berdasarkan sifat pencelupannya, zat warna dapat digolongkan sebagai zat warna substantif, yaitu zat warna yang langsung dapat mewarnai serat dan zat warna ajektif, yaitu zat warna yang memerlukan zat pembantu pokok untuk dapat mewarnai serat.
Berdasarkan warna yang ditimbulkan zat warna digongkan menjadi zat warna monogenetik yaitu zat warna yang hanya memberikan arah satu warna dan zat warna poligenetik yaitu zat warna yang memberikan beberapa arah warna. Penggolongan lainnya adalah berdasarkan susunan kimia atau inti zat warna tersebut, yaitu zat warna – nitroso, mordan, belerang, bejana, naftol, disperse dan reaktif.
b. Syarat-syarat Zat Warna
Yang dimaksud dengan zat warna ialah semua zat berwarna yang mempunyai kemampuan untuk dicelupkan pada serat tekstil dan memiliki sifat ketahanan luntur warna (permanent). Jadi sesuatu zat dapat berlaku sebagai zat warna, apabila :
 Zat warna tersebut mempunyai gugus yang dapat menimbulkan warna (chromofor), misalnya : nitro, nitroso, dan sebagainya.
 Zat warna tersebut mempunyai gugus yang dapat mempunyai afinitas terhadap serat tekstil auxsochrom misalnya amino, hidroksil dansebagainya.
Zat-zat seperti cat tembok, cat besi, bahan pewarna kue walaupun berwarna karena tidak mempunyai afinitas (kemampuan mengadakan ikatan) terhadap serat tekstil tidak dapat digolongkan sebagai zat warna. Di dalam perdagangan zat warna itu mempunyai nama yang bermacam-macam, bergantung kepada jenis dan pabrik pembuatnya. Pada dasarnya cara pemberian nama suatu zat warna mengandung 3 pengertian pokok, yaitu :
1. Nama pokok, yang menunjukkan golongan zat warna dan pabrik pembuatnya, misalnya Procion, adalah zat warna reaktif buatan I.C.I.
2. Warna, yang menunjukkan warna dari zat warna tersebut, misalnya Yellow, Red dan sebagainya.
3. Satu atau lebih huruf/angka yang menunjukkan arah warna, konsentrasi, mutu atau cara pamakaiannya, misalnya M X R, yang berarti :
 M – jenis zat warna Procion dingin
 X – pemakaian dengan cara perendaman (exhaustion)
 R – arah warna kemerahan
c. Pemilihan Zat Warna untuk Serat Tekstil
Perkembangan yang pesat dari industri tekstil akan mengakibatkan meningkatnya kebutuhan bahan zat warna yang berguna untuk mewarnai bahan-bahan tekstil. Dewasa ini dipergunakan bermacam-macam jenis zat warna bergantung pada jenis serat yang akan diwarnai macam warna, tahan luntur yang diinginkan, faktor-faktor teknis dan ekonomis lainnya. Di dalam praktik zat warna tekstil tidak digolongkan berdasarkan struktur kimianya, melainkan berdasarkan sifat-sifat pencelupan maupun cara penggunaannya. Zat-zat warna tersebut dapat digolongkan sebagai berikut :
 Zat warna asam
Zat warna ini merupakan garam natrium dari asam-asam organik misalnya asam sulfonat atau asam karboksilat. Zat warna ini dipergunakan dalam suasana asam dan memiliki daya tembus langsung terhadap serat-serat protein atau poliamida.
 Zat warna basa
Zat warna ini umumnya merupakan garam-garam khlorida atau oksalat dari basa-basa organik, misalnya basa amonium, oksonium dan sering pula merupakan garam rangkap dengan seng khlorida.
Oleh karena khromofor dari zat warna ini terdapat pada kationnya maka zat warna ini kadang-kadang juga disebut zat warna kation. Warna-warnanya cerah tetapi tahan luntur warnanya kurang baik. Zat warna ini mempunyai daya tembus langsung terhadap serat-serat protein.
Beberapa zat warna basa yang telah dikembangkan dapat juga dipergunakan untuk mewarnai serat poliakrilat. Pada serat tersebut zat warna basa memiliki tahan luntur dan tahan sinar yang lebih baik.
 Zat warna direk
Zat warna ini menyerupai zat warna asam, yakni merupakan garam natrium dari asam sulfonat dan hampir seluruhnya merupakan senyawa-senyawa azo. Zat warna ini mempunyai daya tembus langsung terhadap serat-serat selulosa, maka kadang-kadang juga disebut zat warna substanstif.
Meskipun zat warna ini dapat dipergunakan untuk mewarnai serat-serat protein tetapi jarang dipergunakan untuk maksud tersebut. Golongan zat warna ini memiliki macam warna yang cukup banyak, tetapi tahan luntur warnanya kurang baik.
 Zat warna mordan dan kompleks logam
Zat warna ini tidak mempunyai daya tembus terhadap serat-serat tekstil, tetapi dapat bersenyawa dengan oksida-oksida logam yang dipergunakan sebagai mordan, membentuk senyawa yang tidak larut dalam air. Zat warna mordanasam dipergunakan untuk mewarnai serat-serat wol atau poliamida sepertihalnya zat warna asam tetapi memiliki tahan luntur yang baik.
Zat warna kompleks logam merupakan perkembangan terakhir dari zat warna mordan. Dalam pencelupan dengan zat warna mordan timbul kesukaran karena terjadinya perubahan warna yang diakibatkan oleh senyawa-senyawa logam. Untuk mengatasi kesulitan tersebut zat warna kompleks logam dibuat dengan mereaksikan khrom dengan molekul-molekul zat warna.
 Zat warna belerang
Zat warna ini merupakan senyawa organik kompleks yang mengandung belerang pada sistim khromofornya dan gugusan sampingnya yang berguna dalam pencelupan. Zat warna ini terutama digunakan untuk serat-serat selulosa untuk mendapatkan tahan luntur warna terhadap pencucian dengan nilai yang baik tetapi dengan biaya yang rendah. Warna-warna yang dihasilkan oleh zat warna ini biasanya suram.
 Zat warna bejana
Zat warna ini tidak larut dalam air tetapi dapat dirubah menjadi senyawa leuco yang larut dengan penambahan senyawa reduktor natrium hidrosulfit dan natrium hiroksida. Serat-serat selulosa mempunyai daya serap terhadap senyawa leuko tersebut, yang setelah diserap oleh serat dapat dirubah menjadi bentuk pigmen yang tidak larut lagi dalam air dengan menggunakan senyawa oksidator. Untuk mempermudah cara pemakaiannya zat warna ini telah dikembangkan menjadi zat warna bejana yang larut dengan cara mengubah strukturnya menjadi garam natrium dari ester asam sulfat. Zat warna yang larut ini dapat dikembalikan ke dalam struktur aslinya di dalam serat dengan cara oksidasi dalam suasana asam.
 Zat warna dispersi
Zat warna ini tidak larut dalam air tetapi mudah didispersikan atau disuspensikan dalam air. Dalam perdagangan dijual sebagai bubuk. Zat warna ini digunakan untuk mewarnai serat-srat yang bersifat hidrofob.
 Zat warna reaktif
Zat warna ini dapat bereaksi dengan selulosa atau protein sehingga memberikan tahan luntur warna yang baik. Reaktifitas zat warna ini bermacammacam, sehingga sebagian dapat digunakan pada suhu rendah sedangkan yang lain harus digunakan pada suhu tinggi.
 Zat warna naftol
Zat warna ini merupakan zat warna yang tidak larut dan terbentuk di dalam serat dari dua komponen pembentuknya. Golongan zat warna ini terutama untuk mewarnai serat selulosa dengan warna-warna cerah terutama warna merah. Ketahanannya baik kecuali tahan gosoknya.
 Zat warna pigmen
Zat warna ini tidak larut dalam air dan tidak mempunyai daya tembus terhadapserat tekstil. Dalam pemakaiannya zat warna ini dicampur dengan resin sebagai pengikat. Oleh karena zat warna tersebut menempel pada serat dengan adanya resin sebagai pengikat, hal ini mengakibatkan pegangan kainnya menjadi kaku dan tahan gosoknya kurang baik.
 Zat warna oksidasi
Pada prinsipnya zat warna ini merupakan suatu senyawa antara dengan berat molekul rendah, yang dicelupkan dan kemudian dioksidasikan dalam serat dalam suasana asam untuk membentuk molekul berwarna yang lebih besar dan tidak larut.
Di antara zat warna yang masih digunakan adalah Hitam Anilin terutama untuk pencapan. Dari uraian tersebut di atas jelaslah bahwa tiap-tiap jenis zat warna mempunyai kegunaan tertentu dan sifat-sifat yang tertentu pula. Pemilihan zat warna yang akan dipakai bergantung pada bermacam-macam faktor antara lain :
1) Jenis serat yang diwarnai
2) Macam warna yang dipilih dan warna-warna yang tersedia di dalam jenis zat warna.
3) Tahan luntur warna yang diinginkan.
4) Peralatan produksi yang tersedia dan
5) Biaya
4. Pengolahan Bahan Pewarna dan Pencelup dalam Skala Industri
a. Teori Pencelupan
Pencelupan pada umumnya terdiri dari melarutkan atau mendispersikan zat warna dalam air atau medium lain, kemudian memasukkan bahan tekstil ke dalam larutan tersebut sehingga terjadi penyerapan zat warna ke dalam serat. Penyerapan zat warna ke dalam serat merupakan suatu reaksi eksotermik dan reaksi keseimbangan. Beberapa zat pembantu misalnya garam, asam, alkali atau lainnya ditambahkan ke dalam larutan celup dan kemudian pencelupan diteruskan hingga diperoleh warna yang dikehendaki. Vickerstaf menyimpulkan bahwa dalam pencelupan terjadi tiga tahap : Tahap pertama merupakan molekul zat warna dalam larutan yang selalu bergerak, pada suhu tinggi gerakan molekul lebih cepat kemudian bahan tekstil dimasukkan ke dalam larutan celup.
Serat tekstil dalam larutan bersifat negatif pada permukaannya sehingga dalam tahap ini terdapat dua kemungkinan yakni molekul zat warna akan tertarik oleh serat atau tertolak menjauhi serat. Oleh karena itu perlu penambahan zat-zat pembantu untuk mendorong zat warna lebih mudah mendekati permukaan serat. Peristiwa tahap pertama tersebut sering disebut zat warna dalam larutan.
Dalam tahap kedua molekul zat warna yang mempunyai tenaga yang cukup besar dapat mengatasi gaya-gaya tolak dari permukaan serat, sehingga molekul zat warna tersebut dapat terserap menempel pada permukaan serat. Peristiwa ini disebut adsorpsi.
Tahap ketiga yang merupakan bagian yang terpenting dalam pencelupan adalah penetrasi atau difusi zat warna dari permukaan serat ke pusat. Tahap ketiga merupakan proses yang paling lambat sehingga dipergunakan sebagai ukuran untuk menentukan kecepatan celup.
b. Gaya-gaya Ikat pada Pencelupan
Agar supaya pencelupan dan hasil celupan baik dan tahan cuci maka gayagaya ikat antara zat warna dan serat harus lebih besar dari pada gaya-gaya yang bekerja antara zat warna dan air. Hal tersebut dapat tercapai apabila molekul zat warna mempunyai susunan atom-atom yang tertentu, sehingga akan memberikan daya tembus yang baik terhadap serat dan pula member ikatan yang kuat.
Pada dasarnya dalam pencelupan terdapat empat jenis gaya ikat yang menyebabkan adanya daya tembus atau tahan cuci suatu zat warna pada serat, yaitu :
 Ikatan hidrogen
Ikatan hidrogen merupakan ikatan sekunder yang terbentuk karena atom hidrogen pada gugusan hidroksi atau amina mengadakan ikatan yang lemah dengan atom lainnya, misalnya molekul-molekul air yang mendidih pada suhu yang jauh lebih tinggi daripada molekul-molekul senyawa alkana dengan berat yang sama.
H – O – H
H
H – O – H O
H
Pada umumnya molekul –molekul zat warna dan serat mengandung gugusangugusan yang memungkinkan terbentuknya ikatan hidrogen.
 Ikatan elektrovalen
Ikatan antara zat warna dan serat yang kedua merupakan ikatan yang timbul karena gaya tarik-menarik antara muatan yang berlawanan. Dalam air seratserat bermuatan negatif sedangkan pada umumnya zat warna yang larut merupakan suatu anion sehingga penetrasi akan terhalang. Oleh karena itu perlu penambahan zat-zat yang berfungsi menghilangkan atau mengurangi sifat negatif dari serat atau zat warna, sehingga zat warna dan serat dapat lebih saling mendekat dan gaya-gaya non polar dapat bekerja lebih baik. Maka pada pencelupan serat-serat selulosa perlu penambahan elektrolit, misalnya garam dapur atau garam glauber dan pada pencelupan serat wol atau poliamida perlu penambahan asam. Untuk pencelupan serat wol dapat digambarkan sebagai berikut :
W – NH3+ -OOC – W
↓HX
W – NH3+ HOOC – W
↓NaZw
W – NH3+ HOOC – W
↓Zw
Keterangan :
W = Serat wol
HX = Molekul asam
NaZw = Molekul zat warna
Gugusan amina dan karboksil pada serat wol di dalam larutan akan terionisasi. Bila ke dalamnya ditambahkan suatu asam maka ion hidrogen langsung diserap oleh wol dan menetralkan ion karboksilat sehingga serat wol akan bermuatan positif yang kemudian langsung menyerap anion asam.
Pada tahap selanjutnya anion zat warna yang berkerak lebih lambat karena molekul lebih besar akan masuk ke dalam serat dan mengganti kedudukan anion asam. Hal tersebut mungkin sekali terjadi karena selain penarikan oleh muatan yang berlawanan juga terjadi gaya-gaya non-polar.
 Gaya-gaya non polar
Pada umumnya terdapat kecenderungan bahwa atom-atom atau molekul-molekul satu dan lainnya saling tarik menarik. Pada proses pencelupan daya tarik antara zat warna dan serat akan bekerja lebih sempurna bila molekul-molekul zat warna tersebut berbentuk memanjang dan datar, atau antara molekul zat warna dan serat mempunyai gugusan hidrokarbon yang sesuai sehingga waktu pencelupan zat warna ingin lepas dari air dan bergabung dengan serat. Gaya-gaya tersebut sering disebut gaya-gaya Van der Waals yang mungkin merupakan gaya-gaya dispersi, London ataupun ikatan hidrofob.
 Ikatan kovalen
Zat warna reaktif terikat pada serat dengan ikatan kovalen yang sifatnya lebih kuat dari pada ikatan-ikatan lainnya sehingga sukar dilunturkan. Meskipun demikian dengan pengerjaan larutan asam atau alkali yang kuat beberapa celupan zat warna reaktif akan meluntur.
c. Kecepatan Celup
Perjalanan zat warna melalui pori-pori di dalam serat yang sempit dan demikian pula struktur benang atau kain yang mampat akan menahan kecepatan celup. Kecepatan celup seringkali dinyatakan dengan waktu setengah celup yakni waktu yang dibutuhkan untuk mencelup bahan tekstil dengan jumlah zat warna yang terserap setengah dari zat warna yang terserap pada keadaan setimbang.
Kelanjutan perembesan zat warna masuk ke dalam serat ditentukan oleh koefisien difusinya yang dapat didefinisikan sebagai bilangan yang menunjukkan jumlah zat warna yang melalui sesuatu luas dan waktu yang tertentu pada gradien konsentrasi yang telah dipastikan.
Dalam praktek sifat-sifat zat warna yang memberikan pencelupan yang sangat cepat ataupun sangat lambat tidak dikehendaki. Pencelupan yang sangat cepat mempunyai kecenderungan sukar rata, sedangkan pencelupan yang sangat lambat akan menambah biaya-biaya pengerjaan dan sering mudah merusak serat yang dicelup. Oleh karena itu ahli celup harus mampu menggunakan beberapa sarana untuk mengatur agar supaya kecepatan celup dalam sesuatu proses pencelupan menjadi optimum. Sarana tersebut mungkin merupakan pengaturan suhu celup atau penambahan zat-zat kimia yang membantu agar diperoleh hasil celupan yang baik.
d. Pengaruh Perubahan Suhu
Suhu dalam pencelupan memberikan pengaruh-pengaruh sebagai berikut :
 Mempercepat pencelupan
 Menurunkan jumlah zat warna yang terserap
 Mempercepat migrasi yakni perataan zat warna dari bagian-bagian yang tercelup tua ke bagian-bagian yang tercelup lebih muda hingga terjadi kesetimbangan
 Mendorong terjadinya reaksi antara serat dan zat warna pada pencelupan zat warna reaktif.
Pengaruh suhu yang berlawanan, misalnya antara kecepatan celup dan daya tembus pada umumnya tidak mudah diamati dengan pasti di dalam praktik, biasanya apabila suhu celup dinaikkan tampak bahwa hasil celupan akan lebih tua. Dalam hal ini memang demikian karena kecepatan celup sudah bertambah besar sedangkan kesetimbangan celup masih jauh dapat dicapai.
e. Pengaruh Bentuk dan Ukuran Molekul Zat Warna
Bentuk dan ukuran sesuatu molekul zat warna mempunyai pengaruh yang penting terhadap sifat-sifat dalam pencelupan, misalnya :
 Daya tembus
Molekul-molekul zat warna yang datar memberikan daya tembus pada serat, tetapi setiap penambahan gugusan kimia yang merusak sifat datar molekul tersebut akan mengakibatkan daya tembus zat warna berkurang.
 Kecepatan celup
Besar serta kelangsingan atau penambahan sesuatu zat warna akan mempengaruhi kecepatan celupnya. Molekul zat warna yang memanjang mempunyai daya untuk melewati pori-pori dalam serat lebih baik dari pada molekul-molekul yang melebar.
 Ketahanan
Pada sederetan zat warna asam yang mempunyai gugusan pelarut yang sama jumlahnya, ketahanan cucinya sebagian besar ditentukan oleh berat molekul atau ukuran besar molekulnya. Molekul yang besar akan mempunyai ketahanan cuci yang lebih baik.
f. Mekanisme Pencelupan
Pencelupan pada umumnya terdiri dari melarutkan atau mendispersikan zat warna dalam air atau medium lain, kemudian memasukkan bahan tekstil ke dalam larutan tersebut, sehingga terjadi penyerapan zat warna ke dalam serat. Penyerapan ini terjadi karena reaksi eksotermik (mengeluarkan panas) dan keseimbangan. Jadi pada pencelupan terjadi tiga peristiwa penting, yaitu :
1. Melarutkan zat warna dan mengusahakan agar larutan zat warna bergerak menempel pada bahan. Peristiwa ini disebut migrasi.
2. Mendorong larutan zat warna agar dapat terserap menempel pada bahan. Peristiwa ini disebut adsorpsi.
3. Penyerapan zat warna dari permukaan bahan ke dalam bahan. Peristiwa ini disebut difusi, kemudian terjadi fiksasi. Pada tahap ini diperlukan bantuan luar, seperti : menaikkan suhu, menambah zat pembantu lain seperti garam dapur, asam dan lain-lain.

Baik tidaknya hasil pencelupan sangat ditentukan oleh ketiga tingkatan pencelupan tersebut. Apabila zat warna terlalu cepat terfiksasi maka kemungkinan diperoleh celupan yang tidak rata. Sebaliknya, apabila zat warna memerlukan waktu yang cukup lama untuk fiksasinya, agar diperoleh waktu yang sesuai dengan yang diharapkan, diperlukan peningkatan suhu atau penambahan zat-zat pembantu lainnya. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka dalam pencelupan faktor-faktor pendorong seperti suhu, penambahan zat pembantu dan lamanya pencelupan perlu mendapatkan perhatian yang sempurna. Zat warna dapat terserap ke dalam bahan sehingga mempunyai sifat tahan cuci.

Read More...

INDUSTRI SABUN DAN DETERGEN

0 komentar



1. Sejarah Sabun dan Detergen
a. Awal Sejarah Sabun
Asal dari kebersihan pribadi kembali ke zaman prasejarah. Sejak air menjadi bagian yang penting untuk kehidupan, orang pertama hidup dekat air dan tahu sesuatu apa itu properti kebersihan - sedikitnya bagaimana membilas lumpur ke tangan mereka.
Benda mirip sabun ditemukan dalam bentuk tabung saat penggalian di Babilonia Kuno adalah fakta tentang pembuatan sabun diketahui pada tahun 2800 SM. Persembahan di tabung mengatakan bahwa lemak direbus dengan abu, dimana adalah metoda membuat sabun, tetapi tidak mengenai kegunaan sabun itu. Beberapa bahan terakhir digunakan untuk penggaya rambut.
Catatan memperlihatkan bahwa orang Mesir Kuno mandi biasa. Papirus Eber, dokumen kesehatan dar sekitar tahun 1500 SM, mendeskripsikan kombinasi minyak hewani dan nabati dengan garam alkali untuk membuat bahan sejenis sabun untuk menyembuhkan penyakit kulit, juga untuk membersihkan.
Di waktu yang sama, Musa memberi orang Israel peraturan pemerintah kebersihan pribadi. Dia juga menghubungkan kebersihan untuk kesehatan dan penyucian agama. Laporan Injil mengusulkan bahwa orang Israel tahu bahwa campuran abu dan produk minyak adalah jenis dari gel rambut.


Sabun mendapatkan nama, diantara legenda Romawi Kuno, dari Gunung Sapo, dimana binatang dikorbankan. Hujan membersihkan campuran dari lemak hewani mencair, atau lemak dan abu kayu dibawah menjadi lilin di sepanjang Sungai Tiber. Para wanita menemukan bahwa campuran lilin membuat pembersih mereka dengan lebih kurang usaha.
Orang Jerman Kuno dan Gaul juga memasukkan dengan memjelajahi sesuatu bernama sabun, terbuat dari lemak dan abu, digunakan untuk mewarnai rambut mereka menjadi merah.
Ketika peradaban Romawi maju, jadi selalu mandi. Tempat mandi Romawi terkenal pertama, terdapat dengan air dari saluran air, dibangun sekitar tahun 312 SM. Mandi sangatlah mewah, dan mandi menjadi populer. Di abad-ke 2 Masehi, dokter Yunani, Galen menganjurkan sabun untuk pengobatan dan pembersih. Setelah musim gugur di Roma di 467 Masehi dan hasilnya kebiasaan mandi menurun, lebih banyak di lakan Eropa pengaruh yang kuat di kesehatan public berganti-berganti. Menurunnya kebersihan pribadi dan berhubungan kondisi kehidupan tanpa sanitasi menambah beratnya wabah besar di Abad Pertengahan, dan khususnya Kematian Hitam di abad ke-14. Itu tidak sampai abad ke-17 bahwa kebersihan dan mandi memulai untuk kembali ke kebiasaan di banyak tempat di Eropa. Masih sudah di mana tempat di pertengahan dunia dimana kebersihan pribadi tersisa penting di pertengahan dunia. Mandi harian adalah adat yang biasa di Jepang saat Abad Pertengahan. Dan, di Islandia, kolam hangat dengan air dari mata air panas adalah perkumpulan populer di Sabtu sore.
b. Pertengahan Abad Sejarah Pembuatan Sabun
Pembuatan sabun adalah keahlian yang tidak bisa dipungkiri di Eropa di abad ke-17. Pembuat sabun serikat pekerja terlindungi perdagangan rahasia mereka ditutup. Minyak nabati dan hewani digunakan dengan arang tanaman, terus dengan pewangi. Secara berangsur-angsur jenis sabun yang lebih banyak lagi menjadi tersedia untuk mencukur dan mencuci rambut, juga mandi dan mencuci. Italia, Spanyol dan Perancis adalah pusat manufaktur pertama sabun, seharusnya mereka siap menyediakan bahan mentah seperti minyak pohon zaitun.
Orang Inggris mulai membuat sabun saat abad ke 12. Bisnis sabun sangat baik pada tahun 1622, Raja James I mengabulkan monopoli kepada pembuat sabun untuk $100.000 setahun. Baik ke abad ke-19, sabun adalah pajak tertinggi sehingga menjadi barang mewah di beberapa negara. Ketika pajak dihapuskan, sabun menjadi tersedia untuk orang biasa, dan standar kebersihan meningkat.
Pembuatan sabun komersial di Amerika kolonial dimulai pada tahun 1608 dengan datangnya beberapa pembuat sabun di kapal kedua dari Inggris untuk mencapai Jamestown, Virginia. Bagaimanapun, untuk beberapa tahun, pembuatan sabun pada dasarnya tinggal pekerjaan rumah tangga. Akhirnya, pembuat sabun profesional mulai biasa mengumpulkan pemborosan lemak dari rumah tangga, di perubahan untuk beberapa sabun.
Langkah utama terhadap pembuatan sabun komersial skala besar terjadi pada tahun 1791 ketika kimiawan Perancis, Nicholas Leblanc, mematenkan proses untuk membuat abu soda, atau sodium karbonat, dari garam biasa. Abu soda adalah alkali terdapat dari abu bahwa kombinasi dari lemak ke bentuk sabun. Leblanc memproses hasil kuantitas dari kualitas baik, abu soda murah.
Sains dari pembuatan sabun modern lahir 20 tahun kemudian dengan pemjelajahan oleh Michel Eugene Chevreul, kimiawan Perancis lainnya, dari kimia alam and lemak yang terkait, gliserin dan asam lemak. Penelitiannya yang tidak bisa dipungkiri dasar untuk lemak dan bahan kimia sabun. Juga penting kepada kemajuan dari teknologi sabun di pertengahan 1800-an penemuan oleh kimiawan Belgia, Ernest Solvay, dari proses amonia, di mana juga menggunakan garam meja biasa, atau sodium klorida, untuk membuat abu soda.
Proses Solvay lebih lanjut dikurangi harga dari mendapat alkali, dan menambah kualitas dan kuantitas dari abu soda tersedia untuk manufaktur sabun. Penjelajahan sains ini, bersama dengan pembangunan dari kekuatan untuk mengoperasikan pabrik, membuat satu pembuatan sabun di pertunbuhan cepat industri
Amerika di tahun 1850. Di waktu yang sama, ketersediaan luas mengubah sabun dari barang mewah ke kebutuhan sehari-hari. Dengan penggunaan tersebar luas ini menjadi perkembangan dari sabun yang lebih lembut untuki mandi dan sabun untuk digunakan di dalam mesin cuci itu sudah tersedia untuk konsumen dengan pergantian abad.

2. Pengertian Sabun dan Detergen
a. Sabun
Sabun merupakan bahan logam alkali dengan rantai asam monocarboxylic yang panjang. Larutan alkali yang digunakan dalam pembuatan abun bergantung pada jenis sabun tersebut. Larutan alkali yang biasa yang digunakan pada sabun keras adalah Natrium Hidroksida (NaoH) dan alkali yang biasa digunakn pada sabun lunak adalah Kalium Hidroksida (KOH).
Sabun berfungsi untuk mengemulsi kotoran kotoran berupa minyak ataupun zat pengotor lainnya. Sabun dibuat melalui proses saponifikasi lemak minyak dengan larutan alkali membebaskan gliserol. Lemak minyak yang digunakan dapat berupa lemak hewani, minyak nabati, lilin, ataupun minyak ikan laut.
Pada saat ini teknologi sabun telah berkembang pesat. Sabun dengan jenis dan bentuk yang bervariasi dapat diperoleh dengan mudah dipasaran seperti sabun mandi, sabun cuci baik untuk pakaian maupun untuk perkakas rumah tangga, hingga sabun yang digunakan dalam industri.
Kandungan zat zat yang terdapat pada sabun juga bervariasi sesuai dengan sifat dan jenis sabun. Zat zat tersebut dapat menimbulkan efek baik yang menguntungkan maupun yang merugikan. Oleh karena itu, konsumen perlu memperhatikan kualitas sabun dengan teliti sebelum membeli dan menggunakannya.
Pada pembuatan sabun, bahan dasar yang biasa digunakan adalah : C12 – C18 .
Jika : < C12 : Iritasi pada kulit > C20 : Kurang larut (digunakan sebagai campuran)
Sabun murni terdiri dari 95% sabun aktif dan sisanya adalah air, dliserin, garam dan impurity lainnya.Semua minyak atau lemak pada dasarnya dapat digunakan untuk membuat sabun. Lemak dan minyak nabati merupakan dua tipe ester. Lemak merupakan campuran ester yang dibuat dari alcohol dan asam karboksilat seperti asam stearat, asam oleat dan asam palmitat. Lemak padat mengandung ester dari gliserol dan asam palmitat, sedangkan minyak, seperti minyak zaitun mengandung ester dari gliserol asam oleat.
Sabun adalah salah satu senyawa kimia tertua yang pernah dikenal. Sabun sendiri tidak pernah secara aktual ditemukan, namun berasal dari pengembangan campuran antara senyawa alkali dan lemak/minyak.
b. Detergen
Detergen merupakan salah satu produk industri yang sangat penting dalam kehidupan sehari-hari, terutama untuk keperluan rumah tangga dan industri. Detergen dapat berbentuk cair, pasta, atau bubuk yang mengandung konstituen bahan aktif pada permukaannya dan konstituen bahan tambahan. Konstituen bahan aktif adalah berupa surfaktan yang merupakan singkatan dari surface active agents, yaitu bahan yang menurunkan tegangan permukaan suatu cairan dan di antarmuka fasa (baik cair-gas maupun cair-cair) untuk mempermudah penyebaran dan pemerataan. Adapun konstituen tambahan dapat berupa pembangun, zat pengisi, zat pendorong, diantaranya adalah : Garam dodesilbenzena sulfonat, natrium lauril eter sulfat, kokonum sitrat, dan metil paraben.
Detergen pertama yang dihasilkan yaitu natrium lauril sulfat (NSL) yang berasal dari lemak trilausil yang kemudian direduksi dengan hidrogen dibantu dengan katalis. Setelah itu, direaksikan dengan asam sulfat lalu dinetralisasi. Karena proses produksinya yang mahal, maka penggunaan NSL ini tidak dilanjutkan. Industri deterjen selanjutnya dikembangkan dengan menggunakan alkil benzene sulfonat (ABS). Akan tetapi, ABS ini memiliki dampak negatif terhadap lingkungan karena molekul ABS ini tidak dapat dipecahkan oleh mikroorganisme sehingga berbahaya bagi persediaan suplai air tanah. Selain itu, busa dari ABS ini menutupi permukaan air sungai sehingga sinar matahari tidak bisa masuk pada dasar sungai yang dapat menyebabkan biota sungai menjadi mati dan sungai menjadi tercemar.
Perkembangan selanjutnya ABS diganti dengan linear alkil sulfonat (LAS). Detergen ini memiliki rantai karbon yang panjang dan dapat dipecahkan oleh mikroorganisme sehingga tidak menimbulkan busa pada air sungai. Akan tetapi, LAS juga memiliki kekurangan yaitu dapat membentuk fenol, suatu bahan kimia beracun. Deterjen yang beredar di pasaran atau yang dikonsumsi sebagian masyarakat Indonesia merupakan hasil produksi dalam negeri, tetapi dengan lisensi dari perusahaan luar negeri. Sebagai contoh detergen dari produk PT Unilever yang berpusat berpusat di Perancis, dan detergen produk Kao.
3. Jenis-Jenis Sabun dan Detergen
a. Jenis – Jenis Sabun
 Shaving Cream
Shaving Cream disebut juga dengan sabun Kalium. Bahan dasarnya adalah campuran minyak kelapa dengan asam stearat dengan perbandingan 2:1.
 Sabun Cair
Sabun cair dibuat melalui proses saponifikasi dengan menggunakan minyak jarak serta menggunakan alkali (KOH). Untuk meningkatkan kejernihan sabun, dapat ditambahkan gliserin atau alcohol.
 Sabun kesehatan
Sabun kesehatan pada dasarnya merupakan sabun mandi dengan kadar parfum yang rendah, tetapi mengandung bahan-bahan antiseptic dan bebas dari bakteri adiktif. Bahan-bahan yang digunakan dalam sabun ini adalah tri-salisil anilida, tri-klor carbanilyda, irgassan Dp300 dan sulfur.
 Sabun Chip
Pembutan sabun Chip tergantung pada tujuan konsumen didalam menggunakan sabun yaitu sebagai sabun cuci atau sabun mandi dengan beberapa pilihan komposisi tertentu. Sabun chip dapat dibuat dengan berbagai cara yaitu melalui pengeringan, atau menggiling atau menghancurkan sabun yang berbentuk batangan.
 Sabun Bubuk untuk mecuci
Sabun bubuk dapat diproduksi melalui dry-mixing. Sabun bubuk mengandung bermacam-macam komponen seperti sabun, sodasah, sodium metaksilat, sodium karbonat, sodium sulfat, dan lain-lain.
Berdasarkan ion yang dikandungnya, sabun dibedakan atas :
 Cationic Sabun
Sabun yang memiliki kutub positif disebut sebagai kationic detergents. Sebagai tambahan selain adalah bahan pencuci yang bersih, mereka juga mengandung sifat antikuman yang membuat mereka banyak digunakan pada rumah sakit. Kebanyakan sabun jenis ini adalah turunan dari ammonia.
 Anionic Sabun
Sabun jenis ini adalah merupakan sabun yang memiliki gugus ion negatif.
 Neutral atau Non Ionic Sabun
Nonionic sabun banyak digunakan untuk keprluan pencucian piring. Karena sabun jenis ini tidak memiliki adanya gugus ion apapun, sabun jenis ini tidak beraksi dengan ion yang terdapat dalam air sadah. Nonionic sabun kurang mengeluarkan busa dibandingkan dengan ionic sabun.
b. Jenis-Jenis Detergen
Berdasarkan senyawa organik yang dikandungnya, detergen dikelompokkan menjadi :
 Detergen anionik (DAI)
Merupakan detergen yang mengandung surfaktan anionik dan dinetralkan dengan alkali. Detergen ini akan berubah menjadi partikel bermuatan negatif apabila dilarutkan dalam air. Biasanya digunakan untuk pencuci kain. Kelompok utama dari detergen anionik adalah :
a) Rantai panjang (berlemak) alkohol sulfat
b) Alkil aril sulfonat
c) Olefin sulfat dan sulfonat
 Detergen kationik
Merupakan detergen yang mengandung surfaktan kationik. Detergen ini akan berubah menjadi partikel bermuatan positif ketika terlarut dalam air, biasanya digunakan pada pelembut (softener). Selama proses pembuatannya tidak ada netralisasi tetapi bahan-bahan yang mengganggu dihilangkan dengan asam kuat untuk netralisasi. Agen aktif permukaan kationik mengandung kation rantai panjang yang memiliki sifat aktif pada permukaannya. Kelompok utama dari detergen kationik adalah :
a) Amina asetat (RNH3)OOCCH3 (R=8 sampai 12 atom C)
b) Alkil trimetil amonium klorida (RN(CH3))3+ (R=8 sampai 18 atom karbon)
c) Dialkil dimetil amonium klorida (R2N(CH3)2)+Cl- (R=8 sampai 18 atom karbon)
d) Lauril dimetil benzil amonium klorida (R2N(CH3)2CH2C2H6)Cl
 Detergen nonionik
Merupakan senyawa yang tidak mengandung molekul ion sementara, kedua asam dan basanya merupakan molekul yang sama. Detergen ini tidak akan berubah menjadi partikel bermuatan apabila dilarutkan dalam air tetapi dapat bekerja di dalam air sadah dan dapat mencuci dengan baik hampir semua jenis kotoran. Kelompok utama dari detergen nonionik adalah :
a) Etilen oksida atau propilen oksida
b) Polimer polioksistilen
HO(CH2CH2O)a(CHCH2O)b(CH2CH2O)cH
CH3
c) Alkil amida
HOCHCH3NH2-HOOCC17O38
R
 Detergen Amfoterik
Detergen jenis ini mengandung kedua kelompok kationik dan anionik. Detergen ini dapat berubah menjadi partikel positif, netral, atau negatif bergantung kepada pH air yang digunakan. Biasanya digunakan untuk pencuci alat-alat rumah tangga. Kelompok utama dari detergen ini adalah : Natrium lauril sarkosilat ( CH3(CH2)10CH2NHCH2CH2CH2COONa) dan natrium mirazol.
Berdasarkan kegunaannya jenis-jenis deterjen adalah sebagai berikut :
1. Detergen pencuci kain, mengandung alkohol etoksilat dan alkil fenoletoksilat.
2. Detergen pencuci piring mengandung zat seperti detergen pencuci tangan.
3. Detergen pembersih peralatan rumah tangga yang mengandung heksa dekiltrimetil amonium klorida.
4. Detergen pembersih industri mengandung zat seperti detergen pembersih rumah tangga.
5. Detergen pembersih gigi yang mengandung natrium lauril sarkosionat.
6. Detergen pelembut kain yang mengandung diokta dekildimetil ammonium klorida
4. Proses Pengolahan dan Pembuatan Sabun dan Detergen dalam Industri
a. Proses Pengolahan dan Pembuatan Sabun
1. Saponifikasi Lemak Netral
Pada proses saponifikasi trigliserida dengan suatu alkali, kedua reaktan tidak mudah bercampur. Reaksi saponifikasi dapat mengkatalisis dengan sendirinya pada kondisi tertentu dimana pembentukan produk sabun mempengaruhi proses emulsi kedua reaktan tadi, menyebabkan suatu percepatan pada kecepatan reaksi. Jumlah alkali yang dibutuhkan untuk mengubah paduan trigliserida menjadi sabun dapat dihitung berdasarkan persamaan berikut :
Trigliserida + 3NaOH → 3RCOONa + Gliserin
NaOH = [SV x 0,000713] x 100/ NaOH (%) [SV / 1000] x [MV (NaOH)/ MV(KOH)
Dimana SV adalah angka penyabunan dan MV adalah berat molekul Komponen penting pada sistem ini mencakup pompa berpotongan untuk memasukkan kuantitas komponen reaksi yang benar ke dalam reaktor autoclave, yang beroperasi pada temperatur dan tekanan yang sesuai dengan kondisi reaksi.
Campuran saponifikasi disirkulasi kembali dengan autoclave. Temperatur campuran tersebut diturunkan pada mixer pendingin, kemudian dipompakan ke separator statis untuk memisahkan sabun yang tidak tercuci dengan larutan alkali yang digunakan. Sabun tersebut kemudian dicuci dengan larutan alkali pencuci dikolam pencuci untuk memisahkan gliserin (sebagai larutan alkali yang digunakan) dari sabun. Separator sentrifusi memisahkan sisa sisa larutan alkali dari sabun. Sabun murni (60-63 % TFM) dinetralisasi dan dialirkan ke vakum spray dryer untuk menghasilkan sabun dalam bentuk butiran (78-83 % TFM) yang siap untuk diproses menjadi produk akhir.
2) Pengeringan Sabun
Sabun banyak diperoleh setelah penyelesaian saponifikasi (sabun murni) yang umumnya dikeringkan dengan vakum spray dryer. Kandungan air pada sabun dikurangi dari 30-35% pada sabun murni menjadi 8-18% pada sabun butiran atau lempengan. Jenis jenis vakum spray dryer, dari sistem tunggal hingga multi sistem, semuanya dapat digunakan pada berbagai proses pembuatan sabun. Operasi vakum spray dryer sistem tunggal meliputi pemompaan sabun murni melalui pipa heat exchanger dimana sabun dipanaskan dengan uap yang mengalir pada bagian luar pipa.
Sabun yang sudah dikeringkan dan didinginkan tersimpan pada dinding ruang vakum dan dipindahkan dengan alat pengerik sehingga jatuh di plodder, yang mengubah sabun ke bentuk lonjong panjang atau butiran. Dryer dengan mulai memperkenalkan proses pengeringan sabun yang lebih luas dan lebih efisien daripada dryer system tunggal.
3) Netralisasi Asam Lemak
Reaksi asam basa antara asam dengan alkali untuk menghasilkan sabun berlangsung lebih cepat daripada reaksi trigliserida dengan alkali.
RCOOH + NaOH → RCOONa + H2O
Jumlah alkali (NaOH) yang dibutuhkan untuk menetralisasi suatu paduan asam lemak dapat dihitung sebagai berikut :
NaOH = {berat asam lemak x 40) / MW asam lemak
Berat molekul rata rata suatu paduan asam lemak dapat dihitung dengan persamaan :
MW asam lemak = 56,1 x 1000/ AV
Dimana AV (angka asam asam lemak paduan) = mg KOH yang dibutuhkan untuk menetralisasi 1 gram asam lemak.
Operasi sistem ini meliputi pemompaan reaktan melalui pemanasan terlebih dihulu menuju turbodisperser dimana interaksi reaktan reaktan tersebut mengawali pembentukan sabun murni. Sabun tersebut, yang direaksikan sebagian pada tahap ini, kemudian dialirkan ke mixer dimana sabun tersebut disirkulasi kembali hingga netralisasi selesai. Penyelesaian proses netralisasi ditentukan oleh suatu pengukuran potensial elektrik (mV) alkalinitas. Sabun murni kemudian dikeringkan dengan vakum spray dryer untuk menghasilkan sabun butiran yang siap untuk diolah menjadi sabun batangan.
4) Penyempurnaan Sabun
Dalam pembuatan produk sabun batangan, sabun butiran dicampurkan dengan zat pewarna, parfum, dan zat aditif lainnya kedalam mixer(analgamator). Campuran sabun ini klemudian diteruskan untuk digiling untuk mengubah campuran tersebur menjadi suatu produk yang homogen. Produk tersebut kemudian dilanjutkan ke tahap pemotongan. Sebuah alat pemotong dengan mata pisau memotong sabun tersebut menjadi potongan potongan terpisah yang dicetak melalui proses penekanan menjadi sabun batangan sesuai ukuran dan bentuk yang diinginkan. Proses pembungkusan, pengemasan, dan penyusunan sabun batangan merupakan tahap akhir.
b. Proses Pengolahan dan Pembuatan Detergen
Bahan dasarnya adalah dodekil benzena. Reaksi dilakukan dalam reaktor bersisi kaca yang dipasang dengan mixer efisien. Dodekil benzena dimasukkan ke dalam reaktor kaca dicampur dengan asam 22% oleum, pada suhu antara 32-46°C. Kemudian dicampurkan pada suhu 46°C selama kurang lebih 2 jam sampai reaksi selesai.
Tahapan berikutnya netralisasi dengan NaOH yang memberikan 60% alkil aril sulfonat dan 40% diluet (natrium sulfat). Adapun pembuatan deterjen dengan berbagai jenis deterjen dilakukan sebagai berikut :
1) Detergen Anionik
Alkil aril sulfonat
Alkil aril sulfonat terbentuk dari sulfonasi alkil benzena, alkil benzena mengandung inti dengan satu atau lebih rangkaian alifatik (alkil). Inti alkil benzena bisa benzena, toluene, xylena, atau fenol. Alkil benzena yang biasa digunakan adalah jenis DDB (deodecil benzena).
Pembuatan deodecil benzena (C6H6C12H25) dilakukan dengan alkilasi benzena dengan alkena (C12H24) dibantu dengan katalis asam. Alkilasi benzena kemudian dilakukan reaksi Fiedel-Craft. Detergen alkil benzena yang dihasilkan melalui proses Fiedel-Craft memliki sifat degradasi biologis yang buruk karena terdapat 300 isomer dari propilen tetramer.
Olefin sulfat dan sulfonat
Diproses dengan tiga cara, yaitu :
Proses Oxo
Olefin direksikan dengan karbon monoksida dan hidrogen pada suhu 160°C sampai 175°C dengan tekanan 100-250 atm, menghasilkan aldehida. Aldehida kemudian dihidrogenasi dengan bantuan nikel sebagai katalis sehingga menghasilkan suatu senyawa alkohol. Aldehida berkurang pada saat terbentuknya alkohol. Alkohol yang dihasilkan dari proses oxo sebagian besar memiliki berat molekul kecil dibandingkan berat molekul alcohol alami. Oxo-alkohol yang memiliki berat molekul tinggi mengalami sulfonasi. Alkohol ini banyak digunakan untuk kosmetik dan produk cairan rumah tangga (tidak digunakan untuk bahan dasar pembuatan detergen).
Proses Alfol ( Proses Ziegar)
Pada proses ini aluminium trietil dihilangkan dengan logam aluminium dan hidrogen untuk menghasilkan dietilaluminium hidrida. Hidrida dihilangkan dengan etena untuk menghasilkan 3 mol aluminium trietil. Dua pertiganya didaur ulang, sementara sisa trietil direaksikan dengan etena untuk menghasilkan campuran berat molekul tinggi pada aluminium alkil. Kemudian alkil aluminium dioksidasi dan dihidrolisis dengan air untuk menghasilkan alkohol dan aluminium hidroksida.
Proses WI. Welsh
Pada proses ini alfa olefin direaksikan dengan hidrogen bromida dengan bantuan peroksida atau cahaya ultraviolet. Alkil bromida diubah menjadi ester melalui logam halida yang katalisasi dengan asam organik. Ester kemudian dihidrolisis menghasilkan alkohol. Reaksinya :
HBr, UV RCOOH3
RCH = CH → RCH2CH2Br → RCH2CH2OOR’
Logam halida
Hidrolisis, H2O
RCH2CH2OOR’ → RCH2CH2OH
-R’COOH
2) Detergen kationik
Amina asetat (RNH3)OOCCH3
Dihasilkan dengan menetralisasi amina lemak dengan asam asetat dan dapat larut dalam air.
Alkil trimetil ammonium klorida (RN(CH3))3+Cl-
Dihasilkan dari alkilasi lengkap amina lemak atau tetriari amina dengan alkil halida lemak.
Reaksi :
1. R-NH2 + 3 CH3Cl → RN(CH2)2Cl + HCl
2. R2NH + 2 CH2Cl → R2N(CH2)2Cl + HCl

3) Detergen nonionic
Pembuatan detergen nonionik adalah :
Etilen oksida
Proses pembuatannya dengan mereaksikan senyawa yang mengandung kelompok hidrofobik dengan etilen oksida atau propilen oksida, dilakukan pada suhu 150-220°C. Hasil yang diperoleh dinetralkan dengan 30% asam sulfur dan asam asetat glasial.
Amina oksida
Proses pembuatannya dengan mengoksidasi amina tetriari.
4) Detergen amfoterik
Proses pembuatannya yaitu amina lemak dasar (lauril amina) direksikan dengan metil akrilat untuk menghasilkan ester N-lemak-•-amino propionik. Kemudian disaponifikasi dengan NaOH membentuk garam natrium.
Reaksi : lauril amina + metil akrilat → natrium lauril sarkosinat
CH3(CH2)10CH2NH2 + CH2=CHCOOCH3 → CH3(CH2)10CH2NHCH2CH2COOCH3
NaOH
→ CH3(CH2)10CH2NHCH2CH2COONa
-CH3OH natrium lauril sarkosinat

5. Mekanisme Kerja Sabun dan Detergen
Kinerja deterjen dan sabun hampir sama, khususnya surfaktannya, memiliki kemampuan yang unik untuk mengangkat kotoran, baik yang larut dalam air maupun yang tak larut dalam air. Salah satu ujung dari molekul surfaktan bersifat lebih suka minyak atau tidak suka air, akibatnya bagian ini mempenetrasi kotoran yang berminyak. Ujung molekul surfaktan satunya lebih suka air, bagian inilah yang berperan mengendorkan kotoran dari kain dan mendispersikan kotoran, sehingga tidak kembali menempel ke kain. Akibatnya warna kain akan dapat dipertahankan.
Jika kotoran berupa minyak atau lemak maka akan membentuk emulsi minyak–air dan detergen sebagai emulgator (zat pembentuk emulsi). Sedangkan apabila kotoran yang berupa tanah akan diadsorpsi oleh detergen kemudian mambentuk suspensi butiran tanah- air, dimana detergen sebagai suspensi agent (zat pembentuk suspensi).
Jenis Surfaktan dan Builders
Secara umum surfaktan di bedakan menjadi 4 macam berdasarkan sifat ioniknya, yaitu:
a. Surfaktan anionik
Surfaktan ini bila terionisasi dalam air/larutan membentuk ion negatif. Surfaktan ini banyak digunakan untuk pembuatan detergen mesin cuci, pencuci tangan dan pencuci alat-alat rumah tangga. Surfaktan ini memiliki sifat pembersih yang sempurna dan menghasilkan busa yang banyak. Contoh surfaktan ini yaitu, alkilbenzen sulfonat linier, alcohol etoksisulfat, dan alkil sulfat.
b. Surfaktan nonionik
Surfaktan ini tidak dapat terionisasi dalam air/larutan sehingga surfaktan ini tidak memiliki muatan. Dalam pembuatan detergen surfaktan ini memiliki keuntungan yaitu tidak terpengaruh oleh keadaan air karena surfaktan ini resisten terhadap air sadah. Selain itu juga detergen yang dihasilkan hanya menghasilkan sedikit busa. Contohnya alkohol etoksilat.
c. Surfaktan kationik
Surfaktan ini akan terionisasi dalam air/larutan membentuk ion positif. Dalam detergen, surfaktan ini banyak digunakan sebagai pelembut. Contohnya senyawa amonium kuarterner.
d. Surfaktan amfoterik
Bila terionisasi dalam air/larutan akan terbentuk ion positif, ion negative atau nonionic bergantung pada pH air/larutannya. Surfaktan ini digunakan untuk pencuci alat-alat rumah tangga. Contoh imidazolin dan betain.
Setelah surfaktan, kandungan lain yang penting adalah penguat (builder), yang meningkatkan efisiensi surfaktan. Builder digunakan untuk melunakkan air sadah dengan cara mengikat mineral-mineral yang terlarut, sehingga surfaktan dapat berkonsentrasi pada fungsinya. Selain itu, builder juga membantu menciptakan kondisi keasaman yang tepat agar proses pembersihan dapat berlangsung lebih baik serta membantu mendispersikan dan mensuspensikan kotoran yang telah lepas. Yang sering digunakan sebagai builder adalah senyawa kompleks fosfat, natrium sitrat, natrium karbonat, natrium silikat atau zeolit.
Namun detergen fosfat memiliki dampak negatif terhadap lingkungan. Yaitu bila bercampur dengan air, fosfat menyebabkan masalah yang besar karena ion fosfat merupakan makanan ganggang sehingga menimbulkan eutrofikasi.
Builder lain yang digunakan saat ini yaitu sodium perborat (NaBO2.H2O2) dan sodium metasilikat (Na2SiO3). Builder ini tidak begitu membahayakan lingkungan tetapi builder ini membentuk larutan kaustik yang menimbulkan iritasi pada kulit. Ketika natrium perborat bereaksi dengan air akan membentuk sebuah basa kuat dengan reaksi sebagai berikut :
NaBO2.H2O2 + H2O2 + H2O → NaOH + HBO2 + H2O2
Hidrogen peroksida sebagai bahan pemutih dan pengurai yang membebaskan oksigen, reaksinya sebagai berikut :
2H2O2 → 2H2O + O2
Ketika natrium metasilikat bereaksi dengan air juga akan membentuk larutan basa kuat, reaksinya sebagai berikut :
Na2SiO3 + H2O → 2NaOH + H2SiO3
6. Dampak Limbah Sabun dan Detergen Bagi Lingkungan
Masalah yang ditimbulkan akibat pemakaian sabun dan detergen terletak pada pemakaian jenis surfaktan dan gugus pembentuk.
a. Akibat Surfaktan
Di dalam air, sisa detergen harus mampu mengalami degradasi (penguraian) oleh bakteri-bakteri yang umumnya terdapat di alam. Lambatnya proses degradasi ini mengakibatkan timbulnya busa di atas permukaan air, dalam jumlah yang makin lama makin banyak. Hal ini disebabkan oleh bentuk struktur surfaktan yang dipakai. Jika struktur kimia berupa rantai lurus, gugus surfaktan ini mudah diuraikan.
C-C-C-C-C-C-C-C-C- (terurai cepat)

SO3Na
Sedangkan jika struktur berupa rantai bercabang, maka surfaktan ini sulit dipecahkan
C
C-C-C-C-C-C-C-C-C- (terurai lambat)
C
SO3Na
b. Akibat Gugus Pembentukan
Masalah yang ditimbulkan oleh gugus pembentuk yaitu gugus ini akan mengalami hidrolisis yang menghasilkan ion ortofosfat.
P3O105- + 2H2O → 2HPO42- + H2PO4-
Kedua gugus ini sangat berpengaruh dalam proses eutrofikasi, yang bisa mengakibatkan tanaman alga dan tanaman air tumbuh secara liar.
c. Penanggulangan Limbah Deterjen
Pada produksi surfaktan anionik digunakan H2SO4 encer dengan reaktor film tipis. Terdapat dua macam limbah atau buangan utama yang harus diperhatikan yaitu limbah air cucian dari pembersih bejana yang dinetralkan dan sisa SO3 yang tidak bereaksi.
Air cucian biasanya sedikit mengandung bahan aktif permukaan anionik yang biasanya diolah dengan proses biologi yang serupa dengan pengolahan limbah utama. Degradasi bakterial pada kondisi aerob mengubah surfaktan anionik menjadi karbon dioksida dan air. Limbah asam dari reactor dicuci dan dinetralisasi dengan air kapur membentuk kalsium sulfat yang tidak larut. Gas sulfonat yang dihasilkan dialirkan ke dalam siklon untuk memisahkan kabut asam dari gas-gas. Asam hasil pemisahan di masukkan kembali ke aliran produknya dan bila gas itu masih mengandung SO3 akan dilewatkan kembali ke zona reaksi. Gas cerobong yang mengandung SO2 dan SO3 mula-mula akan dilewatkan ke dalam pengendap elektrostatik untuk mengusir asam sulfat dan asam sulfit yang mungkin terbentuk karena adanya uap dalam instalasinya. Gas dari pengendapan akan dimasukkan ke dalam suatu penggosok arus, yang akan bercampur dengan suatu larutan soda kaustik di dalam air. Proses ini digunakan untuk mengusir semua residu SO2 dan SO3, sehingga dihasilkan udara bersih.

Read More...

INDUSTRI KULIT

1 komentar



a. Sejarah Industri Kulit
Pemanfaatan kulit hewan sebagai salah satu peningkatan pendayagunaan hasil ternak merupakan salah satu upaya membangun peternakan dalam rangka meningkatkan pendapatan masyarakat, meningkatkan kesempatan kerja dan usaha serta peningkatan devisa negara. Dewasa ini sudah bukan hal umum orang menggunakan kulit untuk berbagai keperluan sehari-hari, sehingga dapat dikatakan penggunaan kulit sudah memasyarakat, misal untuk sepatu, jaket, tas, sarung tangan dan lain-lain.
Kulit segar (kulit baru ditanggalkan dari hewannya) yang disimpan tanpa proses pengawetan akan cepat mengalami kerusakan. Kulit segar memiliki sifat mudah busuk karena merupakan media yang baik untuk tumbuh dan berkembangbiaknya mikroorganisme. Kerusakan karena mikroorganisme ini akan berpengaruh terhadap kualitas kulit jadi (leather), sehingga perlu adanya pengolahan atau pengawetan (penyamakan) agar tidak mempengaruhi kualitas produk yang dihasilkan.


Dengan ditemukannya cara-cara penyamakan baru antara lain samak sintetis, samak crom, samak minyak, dan sebagainya, industri perkulitan mulai berkembang pesat, sehingga industri-industri kulit mempunyai peran sangat penting dalam menopang perekonomian negara. Produk kerajinan kulit sudah digunakan manusia sejak ribuan tahun yang lalu sebagai penutup kepala, selimut, pakaian dan berbagai keperluan dalam upacara adat. Kulit mentah merupakan produk hasil peternakan yang memiliki nilai tambah tinggi apabila telah mengalami proses lebih lanjut menjadi kulit hasil olahan (pickle, wet blue,crust, dan leather).
Kulit pada zaman modern pada saat ini diolah menjadi berbagai macam produk yang mempunyai nilai jual yang tinggi yaitu berupa sepatu, jaket, ikat pinggang, dompet, tas, sarung tangan, dll. Untuk mendapatkan hasil dengan kualitas yang memuaskan bahan yang dipakai juga harus berkualitas sehingga dalam pemilihan bahan perlu adanya pemilihan kulit (seleksi kulit) yang cermat.
Penggunaan kulit jadi di Indonesia didominasi oleh empat jenis kulit yakni: untuk kulit atasan sepatu, kulit sarung tangan, kulit jaket dan kulit jok. Dari kriteria tersebut memuat persyaratan yang menyangkut parameter teknis produk dan parameter lain yang terkait dengan aspek kualitas hasil produksi, sehingga penting adanya penyeleksian kulit untuk bahan produksi kerajinan kulit, standar kriteria ini dimaksudkan untuk digunakan oleh produsen kulit untuk menghasilkan produk berkualitas juga untuk mengikuti ketentuan akreditasi dan sertifikasi ekolabel yang berlaku di Indonesia dan standard internasional sehingga dapat memperlancar dalam pemasaran produk dari hasil kerajinan olahan kulit tersebut.
Kulit merupakan salah satu bagian dari makhluk hidup yang dapat dimanfaatkan yang termasuk produk ternak non karkas sebagai hasil ikutan (by products) dari ternak potong yang dapat meningkatkan keuntungan selain dari penjualan karkas.
b. Pengertian Kulit

Kulit merupakan organ terbesar dari tubuh yang menutupi seluruh permukaan tubuh dan mempunyai beberapa fungsi yang penting besarnya ± 10-12% dari tubuh. Kulit adalah lapisan luar tubuh hewan ( kerangka luar ) tempat bulu hewan tumbuh ( Sunarto, 2000 disitasi oleh Aidil rahmat et al ) senada dengan pernyataan Suardana et al (2008) bahwa kulit adalah lapisan luar tubuh binatang yang merupakan suatu kerangka luar, tempat bulu binatang itu tumbuh.
Kulit mamalia terbagi menjadi beberapa bagian dari segi histology menurut Judoamidjojo (1981)yaitu : Epidermis adalah lapisan luar kulit, Corium (derma) adalah bagian pokok tenunan kulit yang akan diubah menjadi kulit samak. dan, Hypodermis (subcutis), yang dikenal sebagai lapisan daging atau tenunan lemak, yang dihilangkan pada saat proses flesing pada proses penyamakan. Bagian bagian kulit dapat dilihat dalam Irisan penampang kulit dan keterangannya ( Franson 1981disitasi oleh Hoeruman (2000) :
























Gambar Irisan penampang kulit

Tidak semua bagian kulit sama kualitasnya dalam satu lembar kulit, dijelaskan oleh Suardana et al, ( 2008 ). jenis kulit berdasarkan kualitasnya sebagai berikut :
1. bagian punggung adalah bagian kulit yang letaknya ada pada punggung dan mempunyai jaringan struktur yang paling kompak luasnya 40 % dari seluruh luas kulit.
2. bagian leher mempunyai kriteria kulitnya agak tebal, sangat kompak tetapi ada beberapa kerutan.
3. bagian bahu kulitnya lebih tipis, kualitasnya bagus, hanya terkadang ada kerutan yang dapat mengurangi kualitas.
4. Bagian perut dan paha struktur jaringan kurang kompak, kulit tipis dan mulur.
Dalam dunia industri kulit ada dua istilah yang menonjol yaitu hide dan skin. Hide adalah istilah kulit mentah yang berasal dari hewan berukuran besar dan berumur dewasa, misalnya : sapi, kerbau, unta, badak dan paus. Skin adalah kulit mentah yang berasal dari hewan yang berukuran kecil, misalnya domba, kambing, babi, dan reptil atau hewan besar yang belum dewasa misalnya : anak sapi dan anak kuda (Sharpouse, 1957. disitasi oleh Hoeruman, 2000).

c. Proses Pengulitan

Setelah proses penyembelihan dilaksanakan berlanjut proses pengulitan. Pengulitan menurut Nuhriawangsa (2003) dilakukan dengan cara kambing domba digantung dengan posisi kaki belakang di atas dan kepala di bawah. Kulit domba dan kambing tidak melekat erat pada karkas, kecuali pada bagian rusuk. Pengulitan domba atau kambing akan lebih mudah jika memasukkan udara pada bagian kaki (carpus metacarpus dan tarsus metatarsus) (Soeparno, 1992), sehingga dapat melepaskan kulit dari fell (membran tisu konektif yang tebal yang menyeliputi karkas) (Smith et al., 1978). Fell yang tetap menempel pada karkas dapat melindungi daging dan menghambat proses pengeringan (Blakely dan Bade, 1992).
Lebih lanjut Nuhriawangsa ( 2003) menerangkan, pengulitan dimulai dari bagian lingkar kepala bawah disayat dan dilakukan pengulitan dengan menyayat pada garis pengulitan pada dada atas sampai ke empat kaki. Pengulitan dimulai pada leher (A), dada atas (B), kaki depan (C) dan kaki belakang. Setelah kulit terbuka (D) dilakukan pengulitan dengan bahu tangan sampai terkelupas dan ditarik sampai pada punggung dan rusuk secara hati-hati (E). Kulit jika sudah terkelupas baru dilanjutkan penarikan sampai paha belang (F) dan batas ekor, dilakukan pemotongan ekor dan kulit terlepas semua (Smith et al., 1978).


















Gambar Prosesing pengulitan pada domba dan kambing

d. Proses Penyamakan Kulit

Industri penyamatan kulit adalah industri yang mengolah kulit mentah (hides atau skins) menjadi kulit jadi atau kulit tersamak (leather) dengan menggunakan bahan penyamak. Pada proses penyamakan, semua bagian kulit mentah yang bukan colagen saja yang dapat mengadakan reaksi dengan zat penyamak. Kulit jadi sangat berbeda dengan kulit mentah dalam sifat organoleptis, fisis, maupun kimiawi.

Dalam Industri penyamatan kulit, ada tiga pokok tahapan penyamatan kulit,yaitu:
1. Proses Pengerjaan basah. (beam house).
2. Proses Penyamakan (tanning).
3. Penyelesaian akhir (Finishing).
Masing- masing tahapan ini terdiri dari beberapa macam proses, setiap proses memerlukan tambahan bahan kimia dan pada umumnya memerlukan banyak air, tergantung jenis kulit mentah yang dignakan serta jenis kulit jadi yang dikehendaki.
Secara prinsip, ditinjau dari bahan penyamak yang digunakan, maka ada beberapa macam penyamakan yaitu:

a) Penyamakan Nabati.
Penyamakan dengan bahan penyamakan nabati yang berasal dari tumbuhan yang mengandung bahan penyamak misalnya kulit akasia, sagawe , tengguli, mahoni, dan kayu quebracho, eiken, gambir, the, buah pinang, manggis, dll. Kulit jadi yang dihasilkan misalnya kulit tas koper, kulit sol, kulit pelana kuda, kulit ban mesin, kulit sabuk dll.

b) Penyamakan mineral.
Penyamak dengan bahan penyamak mineral , misalnya bahan penyamak krom. Kulit yang dihasilkan misalnya kulit boks, kulit jaket, kulit glase, kulit suede, dll. Disamping itu ada pula bahan penyamak aluminium yang biasanya untuk menghasilkan kulit berwarna putih ( misalnya kulit shuttle cock).

c) Penyamakan minyak.

Penyamak dengan bahan penyamak yang berasal dari minyak ikan hiu atau ikan lain, biasanya disebut minyak kasar. Kulit yang dihasilkan misalnya: kulit berbulu tersamak, kulit chamois ( kulit untuk lap kaca) dll.
Dalam prakteknya untuk mendapatkan sifat fisis tertentu yang lebih baik, misalnya tahan gosok, tahan terhadap keringat dan basah, tahan bengkuk, dll, biasanya dilakukan dengan cara kombinasi.

Ada kalanya suatu pabrik penyamakan kulit hanya melaksanakan proses basah saja, proses penyamakan saja, proses penyelesaian akhir atau melakukan 2 tahapan atau ketiga- tiganya sekaligus.

1. Tahapan Proses Pengerjaan Basah ( Beam House).
Urutan proses pada tahap proses basah beserta bahan kimia yang ditambahkan dan limbah yang dikeluarkan dapat dilihat pada bagan 2 berikut ini.
a. Perendaman ( Soaking).
Maksud perendaman ini adalah untuk mengembalikan sifat- sifat kulit mentah menjadi seperti semula, lemas, lunak dan sebagainya. Kulit mentah kering setelah ditimbang, kemudian direndam dalam 800- 1000 % air yang mengandung 1 gram/ liter obat pembasah dan antiseptic, misalnya tepol, molescal, cysmolan dan sebagainya selama 1- 2 hari. Kulit dikerok pada bagian dalam kemudian diputar dengan drum tanpa air selama 1/ 5 jam, agar serat kulit menjadi longgar sehingga mudah dimasuki air dan kulit lekas menjadi basah kembali. Pekerjaan perendaman diangap cukup apabila kulit menjadi lemas, lunak, tidak memberikan perlawanan dalam pegangan atau bila berat kulit telah menjadi 220- 250% dari berat kulit mentah kering, yang berarti kadar airnya mendekati kulit segar (60-65 %). Pada proses perendaman ini, penyebab pencemarannya ialah sisa desinfektan dan kotoran- kotoran yang berasal dari kulit.

b. Pengapuran ( Liming).
Maksud proses pengapuran ialah untuk.
1) Menghilangkan epidermis dan bulu.
2) Menghilangkan kelenjar keringat dan kelenjar lemak.
3) Menghilangkan semua zat-zat yang bukan collagen yang aktif menghadapi zat-zat penyamak.
Cara mengerjakan pengapuran, kulit direndam dalam larutan yang terdiri dari 300-400 % air (semua dihitung dari berat kulit setelah direndam), 6-10 % Kapur Tohor Ca (OH)2, 3-6 % Natrium Sulphida (Na2S). Perendaman ini memakan waktu 2-3 hari.

Dalam proses pengapuran ini mengakibatkan pencemaran yaitu sisa- sisa Ca (OH)2, Na2S, zat-zat kulit yang larut, dan bulu yang terepas.
c. Pembelahan ( Splitting).
Untuk pembuatan kulit atasan dari kulit mentah yang tebal (kerbau-sapi) kulit harus ditipiskan menurut tebal yang dikehendaki dengan jalan membelah kulit tersebut menjadi beberapa lembaran dan dikerjakan dengan mesin belah ( Splinting Machine). Belahan kulit yang teratas disebut bagian rajah (nerf), digunakan untuk kulit atasan yang terbaik. Belahan kulit dibawahnya disebut split, yang dapat pula digunakan sebagai kulit atasan, dengan diberi nerf palsu secara dicetak dengan mesin press (Emboshing machine), pada tahap penyelesaian akhir. Selain itu kulit split juga dapat digunakan untuk kulit sol dalam, krupuk kulit, lem kayu dll. Untuk pembuatan kulit sol, tidak dikerjakan proses pembelahan karena diperlukan seluruh tebal kulit.
d. Pembuangan Kapur ( Deliming).
Oleh karena semua proses penyamakan dapat dikatakan berlangsung dalam lingkungan asam maka kapur didalam kulit harus dibersihkan sama sekali. Kapur yang masih ketinggalan akan mengganggu proses- proses penyamakan. Misalnya :
1) Untuk kulit yang disamak nabati, kapur akan bereaksi dengan zat penyamak menjadi Kalsium Tannat yang berwarna gelap dan keras mengakibatkan kulit mudah pecah.
2) Untuk kulit yang akan disamak krom, bahkan kemungkinan akan menimbulkan pengendapan Krom Hidroksida yang sangat merugikan.
Pembuangan kapur akan mempergunakan asam atau garam asm, misalnya H2SO4, HCOOH, (NH4)2SO4, Dekaltal dll.
e. Pengikisan Protein ( Bating).
Proses ini menggunakan enzim protese untuk melanjutkan pembuangan semua zat- zat bukan collagen yang belum terhilangkan dalam proses pengapuran antara lain:
1) Sisa- sisa akar bulu dan pigment.
2) Sisa- sisa lemak yang tak tersabunkan.
3) Sedikit atau banyak zat- zat kulit yang tidak diperlukan artinya untuk kulit atasan yang lebih lemas membutuhkan waktu proses bating yang lebih lama.
4) Sisa kapur yang masih ketingglan.
f. Pengasaman (Pickling).
Proses ini dikerjakan untuk kulit samak dan krom atau kulit samak sintetis dan tidak dikerjakan untuk kulit samak nabati atau kulit samak minyak. Maksud proses pengasaman untuk mengasamkan kulit pada pH 3- 3,5 tetapi kulit kulit dalam keadaan tidak bengkak, agar kulit dapat menyesuaikan dengan pH bahan penyamak yang akan dipakai nanti.


2. Tahapan Proses Penyamakan ( Tanning).
Proses penyamakan dimulai dari kulit pikel untuk kulit yang akan disamakkrom dan sintan, sedangkan untuk kulit yang akan disamak nabati dan disamak minyak tidak melalui proses pickling ( pengasaman).
Fungsi masing-masing proses sbb:
a. Penyamakan.
Pada tahap penyamakan ini ada beberapa cara yang bisa dilakukan, yakni:
1) Cara Penyamakan dengan Bahan Penyamakan Nabati.
a). Cara Counter Current
Kulit direndam dalam bak penyamakan yang berisis larutan ekstrak nabati + 0,50. Be selama 2 hari, kemudian kepekatan cairan penyamakan dinaikkan secara bertahap sampai kulit menjadi masak yaitu 3- 4 0Be untuk kulit yang tipis seperti kulit lapis, kulit tas, kuli pakaian kuda, dll sedang untuk kulit- kulit yang tebal seperti kulit sol, ban mesin dll a pada kepekatan 6-8 0 be. Untuk kulit sol yang keras dan baik biasanya setelah kulit tersanak masak dengan larutan ekstrak, penyamakan masih dilanjutkan lagi dengan cara kulit ditanam dalam babakan dan diberi larutan ekstrak pekat selama 2-5 minggu.
b). Sistem samak cepat.
Didahului dengan penyamakan awal menggunakan 200% air, 3% ekstrak mimosa (Sintan) putar dalam drum selam 4 jam. Putar terus tambahkan zat peyamak hingga masak diamkan 1 malam dalam drum.
2) Cara Penyamakan dengan Bahan Penyamakan Mineral.
a). Menggunakan bahan penyamak krom
Zat penyamak krom yang biasa digunakan adalah bentuk kromium sulphat basa. Basisitas dari garam krom dalam larutan menunjukkan berapa banyak total velensi kroom diikat oleh hidriksil sangat penting dalam penyamakan kulit. Pada basisitas total antara 0-33,33%, molekul krom terdispersi dalam ukuran partikel yang kecil ( partikel optimun untuk penyamakan). Zat penyamak komersial yang paling banyak digunakan memunyai basisitas 33,33%. Jika zat penyamak krom ini ingin difiksasikan didalam substansi kulit, maka basisitas dari cairan krom harus dinaikkan sehingga mengakibatkan bertambah besarnya ukuran partikel zat penyamak krom. Dalam penyamakan diperlukan 2,5- 3,0% Cr2O3 hanya 25 %, maka dalam pemakainnya diperlukan 100/25 x 2,5 % Cromosol B= 10% Cromosol B. Obat ini dilautkan dengan 2-3 kali cair, dan direndam selama 1 malam. Kulit yang telah diasamkan diputar dalam drum dengan 80- 100%air, 3-4 % garam dapur (NaCl), selma 10-15 menit .


b). Cara penyamakan dengan bahan penyamak aluminium (tawas putih).
Kulit yang telah diasamkan diputar dengan:
- 40- 50 % air.
- 10% tawas putih.
- 1- 2% garam, putar selama 2-3 jam lu ditumpuk selam 1 malam.
- Esok harinya kulit diputar lagi selama ½ – 1 jam, lalu gigantung dan dikeringkan pada udara yang lembabselama 2-3 hari. Kulit diregang dengan tangan atau mesin sampai cukup lemas.
3). Cara Penyamakan dengan Bahan Penyamakan Minyak.
Kulit yang akan dimasak minyak biasanya telah disamak pendahuluan dengan formalin. Kulit dicuci untuk menghilangkan kelebihan formalin kemudian dierah unuk mengurangi airnya, diputar dengan 20-30 % minyak ikan, selama 2-3 jam, tumpuk 1 malam selanjutnya digantung dan diangin- anginkan selam 7-10 hari.
Tanda-tanda kulit yang masak kulit bila ditarikmudah mulur dan bkas tarikan kelihatan putih. Kulit yang telah masak dicuci dengan larutan Na2CO3 1%.
b. Pengetaman (Shaving).
Kulit yang telah masak ditumpuk selama 1-2 hari kemudian diperah dengan mesin atau tangan untuk menghilangkan sebagian besar airnya, lalu diketam dengan mesin ketam pada bagian daging guna mengatur tebal kulit agar rata. Kulit ditimbang guna menentukan jumlah khemikalia yang akan diperlukan untuk proses- proses selanjutnya, selanutnya dicuci dengan air mengalir ½ jam.
c. Pemucatan ( Bleaching).
Hanya dikerjakan untuk kulit samak nabati dan biasanya digunakan asam- asam organik dengan tujuan:
1) Menghilangkan lek- flek bsi dari mesin ketam.
2) Menurunkan pH kulit yang berarti memudahkan warna klit.
Cara mengerjakan proses pemucatan, kulit diputar dengan 150-2005 air hangat (36- 40 0C ). 0,5-1,0 % asam oksalat selama ½- 1 jam.
d. Penetralan ( Neutralizing).
Hanya dikerjakan untuk kulit samak krom. Kulit samak krom dilingkungannya sangat asam ( pH 3-4) maka kulit perlu dinetralkan kembali agar tidak mengganggu dalam proses selanjutnya. Penetralan biasanya mempergunakan garam alkali misalnya NaHCO3, Neutrigan dll.
Cara melakukan penetralan, kulit diputar dengan 200% air hangat 40-600C. 1-2 % NaHCO3 atau Neutrigan. Putar selama ½- 1 jam.Penetralan dianggap cukup bila ½- ¼ penampang kulit bagian tengah berwarna kunung terhadap Bromo Cresol Green (BCG) indikator, sedangkan kulit bagian tepi berwarna biru. Kulit kemudian dicuci kembali.
e. Pengecetan Dasar ( Dyeing).
Tujuan pengecetan dasar ialah untuk memnberikan warna dasar pada kulit agar pemakaian cat tutup nantinya tidak terlalu tebal sehingga cat tidak mudah pecah.
Cat dasar yang dipakai untuk kulit ada 3 macam:
1). Cat direct, untuk kulit samak krom.
2). Cat asam, untuk kulit samak krom dan nabati.
3). Cat basa, untuk kulit samak nabati.
f. Peminyakan (Fat Liguoring).
Tujuan proses peminyakan pada kulit antara lain sebagai berikut:
1). Untuk pelumas serat- serat kulit ag kulit menjadi tahan tarik dan tahan getar.
2). Menjaga serat kulit agar tidak lengket satu dengan yang lainnya.
3). Membuat kulit tahan air.
Cara mengerjakan peminyakan, kulit setelah dicat dasar, diputar selama ½ – 1jam dengan 150 %- 200% air 40- 60 0C, 4-15% emulsi minyak. Ditambahkan 0,2- 0,5 % asam formiat untuk memecahkan emulsi minyak. Minyak akan tertinggal dalam kulit dan airnya dibuang. Kulit ditumpuk pada kuda- kuda selama 1 malam.
g. Pelumasan ( Oiling).
Pelumasan hanya dikerjakan untuk kulit sol samak nabati. Tujuan pelumasan ialah untuk menjaga agar bahan penyamak tidak keluar kepermukaan kulit sebelum kulit menjadi kering, yang berakibat kulit menjadi gelap warnanya dan mudah pecah nerfnya bila ditekuk..
Cara pelumasan, kulit sol sebagian airnya diperah kemudian kulit diulas dengan campuran:
1). 1 bagian minyak parafine.
2). 1 bagian minyak sulfonir.
3). 3 bagian air.
Kulit diulas tipis tetapi rata kedua permukaannya, kemudian dikeringkan.
h. Pengeringan.
Kulit yang diperah airnya dengan mesin atau tangan kemudian dikeringkan. Proses ini bertujuan untuk menghentikan semua reaksi kimia didalam kulit. Kadar air pada kulit menjadi 3-14%.
i. Kelembaban
Kulit setelah dikeringkan dibiarkan 1-3 hari pada udara biasa agar kulit menyesuaikan dengan kelembaban udara sekitarnya. Kulit kemudian dilembabkan dengan ditanam dalam serbuk kayu yang mengandung air 50- 55 % selama 1 malam, Kulit akan mengambil air dan menjadi basah dengan merata. Kulit kemudian dikeluarkan dan dibersihkan serbuknya.
j. Peregangan Dan Pementangan.
Kulit diregang dengan tangan atau mesin regang. Tujuan peregangan ini ialah untuk menarik kulit sampai mendekati batas kemulurannya, agar jika dibuat barang kerajinan tidak terlalu mulur, tidak merubah bentuk ukuran. Setelah diregang sampai lemas kulit kemudian dipentang dan setelah kering kulit dilepas dari pentangnya, digunting dibagian tepinya sampai lubang-lubang dan keriput- keriputnya hilang.
3. Tahapan Penyelesaian Akhir ( Finishing).
Penyelesaian akhir bertujuan untuk memperindah penampilan kulit jadinya, memperkuat warna dasar kulit, mengkilapkan, menghaluskan penampakan rajah kulit serta menutup cacat-cacat atau warna cat dasar yang tidak rata.

e. Kerusakan Kulit Mentah

Menurut Suaradana et al., (2008) kulit binatang ada yang mempunyai kualitas baik, namun ada pula yang kurang berkualitas. Hal ini dapat terjadi karena kerusakan -kerusakan pada kulit tersebut, yang mengakibatkan menurunnya kualitas. Kerusakan kulit mentah pada dasarnya dibedakan menjadi dua macam, yaitu: kerusakan ante-mortem dan post-mortem
1. Kerusakan ante-Mortem
Kerusakan ante-mortem adalah kerusakan kulit mentah yang terjadi pada saat hewan (binatang) masih hidup. Kerusakan kulit dapat disebabkan oleh beberapa macam, antara lain sebagai berikut :
a. Parasit
Jenis sumber kerusakan ini misalnya: saroptik, demodex atau demodecosis, caplak, dan kutu. Beberapa jenis parasit ini mengakibatkan rusaknya rajah pada kulit binatang, yang ditandai dengan adanya lubang-lubang kecil, tidak ratanya permukaan kulit atau adanya lekukan-lekukan kecil.
b. Penyakit
Banyak faktor yang menyebabkan binatang menjadi sakit, misalnya akibat kurang baik dalam pemeliharaan. Bila penyakit tidak segera diobati akan berpengaruh terhadap kualitas kulitnya, yang kadang sulit diperbaiki.
Penyakit demam yang berkepanjangan, misalnya sampar lembu dan trypono-somiosis akan menyebabkan struktur jaringan kulit menjadi lunak. Lalat hypoderma bovis, menyebabkan kulit berlubang-lubang keril yang tersebar di seluruh bagian luar kulit. Kemudian, kerusakan yang disebabkan oleh kutu busuk, ditandai dengan adanya benjolan-benjolan kecil yang keras pada bagian bulu.
Bila kulit mengalami kerusakan baik struktur maupun permukaannya, akan menyebabkan kualitas kulit menjadi rendah. Di samping penyakit hewan seperti tersebut di atas, terdapat pula bermacam bakteri, virus, jamur (fungi) yang membuat kerusakan-kerusakan lokal yang sangat sulit untuk diperbaiki.
Kerusakan yang diakibatkan oleh bakteri adalah kulit menjadi busuk, dan kerusakan ini terjadi pada kulit sebelum diawetkan. Ada pula penyakit musiman yang dapat membuat kerusakan besar pada kulit.
c. Umur tua
Binatang yang berumur tua, memiliki kulit yang berkualitas rendah. Pada kulit binatang yang telah mati sebelum dipotong, akan terdapat pembekuan-pembekuan darah yang tidak mungkin dihilangkan.
d. Sebab mekanis
Ada beberapa kegiatan yang dilakukan terhadap binatang, yang dapat menurunkan kualitas kulitnya. Cap bakar yang dipakai dalam identifikasi atau pengobatan, akan mengakibatkan rusaknya kulit yang tidak mungkin untuk diperbaiki. Cap bakar, menyebabkan Corium menjadi keras atau kaku dan tidak akan hilang. Goresan-goresan duri, kawat berduri, tanduk, berbagai tekanan, sabetan cemeti (cambuk), alat-alat pengendali, dan lain sebagainya, juga dapat menyebabkan kerusakan kulit.
Kerusakan kulit mekanis ini sering dijumpai pada binatang piaraan yang digunakan dalam kepentingan pertanian atau industri. Namun, kerusakan mekanis ini tidak separah kerusakan yang diakibatkan oleh penyakit. Di samping itu, pukulan-pukulan yang dilakukan terhadap binatang sebelum dipotong, dapat menyebabkan memar pada kulit, sehingga darah akan menggumpal. Karena penggumpalan darah itu, pembuluh darah akan mengalami kerusakan, sehingga kulit menjadi berwarna merah kehitam-hitaman. Bila hal ini terjadi, maka akan memudahkan pembusukan pada saat proses pengeringan.

2. Kerusakan post-Mortem.
Kerusakan post-mortem adalah kerusakan kulit yang terjadi pada saat pengolahan kulit, misalnya pada proses pengulitan, pengawetan, penyimpanan, dan pengangkutan, disajikan dalam uraian sebagai berikut :
a. Pengulitan
Pengulitan merupakan proses pemisahan kulit dari tubuh binatang dengan cara pemotongan serabut kulit lunak. Oleh karena itu, dalam pengulitan ini dibutuhkan keahlian khusus. Pada kegiatan ini, kerasakan kulit dapat terjadi karena kesalahan dalam penggunaan peralatan, misalnya pisau. Hal ini dapat disebabkan karena kurang ahlinya orang yang menggunakan peralatan pada proses pengulitan ini.
Pemotongan dan pengulitan harus dilakukan pada tempat yang memenuhi persyaratan, jangan sampai dilakukan di lantai yang kasar, yang dapat mengakibatkan kerusakan rajah kulit akibat pergesekan. Kebersihan binatang sebelum dipotong juga perlu diperhatikan, karena merupakan salah satu faktor penentu mutu kulit yang dihasilkan.
Bila pelaksanaan pengulitan ini tidak sesuai dengan aturan, akan berakibat bentuk kulit tidak baik dan tidak normal. Dalam pengulitan ini, pembersihan kulit dari sisa-sisa daging yang melekat pada Corium harus dilakukan sebaik mungkin, karena sisa daging yang tertinggal dapat menjadi sumber tumbuhnya bakteri pembusuk kulit, yang dapat menyebabkan terjadinya pembusukan kulit.

b. Pengawetan
Kerusakan kulit dapat terjadi pula pada saat pengawetan. Misalnya, pengawetan dengan sinar matahari yang dilakukan di atas tanah akan menurunkan kualitas kulit, karena proses pengeringan tidak merata. Kulit bagian luar terlalu kering. sedangkan bagian tengah dan dalam masili basah, sehingga dengan demikian masih memungkinkan mikroorganisnic pembusuk (flek busuk) yang disebut dengan sun-blister tetap hidup dan berkembang biak. Sebaliknya, kulit bagian luar yang lerlalu kering akan membuat rajah menjadi pecah-pccah dan bila dibiarkan dalam kondisi demikian kulit akan berkerut.
Mengeringkan kulit pada saat panas matahari dalam kondisi puncak (pada siang hari), akan mengakibatkan Collagen terbakar dan mengalami perubahan sifat (glue-forming), sehingga akan menjadi penghalang dalam pengolahan kulit selan jutnya. tcrutama dalam proses perendaman. Kerusakan kulit yang diawetkan dengan garam kering, ditandai dengan adanya flek biru, hijau. atau cokelat pada rajah. Kerusakan ini disebabkan pemakaian garam dengan konsentrasi yang kurang tepat. Flek-flek tersebut tidak dapal dihilangkan, Sambil mcnunggu proses selanjutnya. kulit yang telah diawetkan tersebut harus disimpan.
Penyimpanan harus dilakukan dengan baik. Karena dalam penyimpanan ini tetap ada kemungkinan terjadi kerusakan. Penyimpanan yang terlalu lama di dalam ruang berasap, dapat menurunkan kualitas kulit. Kontaminasi asap dengan rajah kulit akan mempengaruhi warna dan menyebabkan permukaan rajah menjadi kasar.
Kulit yang diawelkan dengan penggaraman basah. bila disimpan terlalu lama akan rusak karena bakteri pembusuk. Kulit yang disimpan di tempat yang basah atau lembab, lama -kelamaan akan ditumbuhi jamur di permukaannya, sehingga mudah menjadi suram dan bila dicat tidak dapat rata.

c. Transportasi (pengangkutan)
Dalam pengangkutan kulit dapat pula timbul kerusakan yang merugikan misalnya, terjadinya gesekan-gesekan pada waktu pengangkutan yang dapat menyebabkan kerusakan pada rajah kulit. Apalagi bila menggunakan kawat untuk mengikat kulit, maka akan timbul bekas pada rajah yang sulit dihilangkan. Pengangkutan dengan kapal laut daiam waktu yang lama, akan menyebabkan kulit lembap, bercendawan. dan akhirnya busuk.

3. Kerusakan dan Mutu Kulit
Kerusakan akan sangat berpengaruh pada kualitas atau mutu kulit yang dihasilkan. Ada kerusakan yang mengakibatkan cacat-cacat kulit sehingga menurunkan mutunya, tetapi ada pula kerusakan yang hanya menurunkan mutunya saja. Dalam buku penuntun tentang penyamakan kulit dijelaskan sebagai berikut.
a) Busuk (rusak) yang terjadi pada kulit mentah, akan semakin parah pada saat proses perendaman dilakukan. Bila pengolahan dilanjutkan, maka akan dihasilkan kulit yang berkualitas rendah (jelek).
b) Irisan-irisan dalam yang terjadi pada saat pengulitan, akan menimbulkan luka yang berbekas (tidak bisa hilang) dan membuat kulit mudah robek. Kulit yang demikian dikelompokkan dalam kulit berkualitas rendah.
c) Cacat yang disebabkan oleh penyakit kulit raisalnya kudis, akan menyebabkan timbulnya benjolan keras atau lekukan-lekukan pada permukaan kulit yang sulit dihilan gkan. Bila diadakan pewarnaan, warna tidak akan dapat merata, dan cat pada bagian kulit yang cacat tersebut mudah pecah dan terkelupas. Kulit dengan cacat seperti ini sangat terbatas pemanfaatannya.
d) Flek darah adalah cacat yang disebabkan oleh pukulan, cambukan, atau sebab mekanis lain, yang mengenai tubuh binatang pada masa hidupnya. Cacat flek darah ini dapat terjadi pula pada kulit yang berasal dari binatang yang mati sebelum dipotong. Kulit yang demikian, bila digunakan sebagai kulit perkamen, tidak akan banyak berpengaruh karena kekuatan kulit masih sama, hanya dengan warna yang kuning menarik. Namun, bila kulit tersebut disamak, akan menjadi leather (kulit-jadi) yang tidak rata, karena permukaan kulit yang tidak cacat akan berwarna mengkilap, tetapi bagian kulit yang cacat, akan buram.

f. Struktur Kulit

Menurut Suaradana et al., ( 2008 ) secara umum, istilah struktur berarti susunan. Namun dalam dunia perkulitan, yang dimaksudkan dengan struktur kulit ialah kondisi susunan serat kulit yang kosong atau padat, dan bukan mengenai tebal atau tipisnya lembaran kulit. Dengan kata lain, menilai kepadatan jaringan kulit menurut kondisi asal (belum tersentuh pengolahan). Struktur kulit dapat di bedakan menjadi lima kelompok berikut :
1. Kulit berstuktur baik
Kulit yang berstruktur baik memiliki ciri-ciri sebagai berikut : perbandingan antara berat, tebal, dan luasnya seimbang, perbedaan tebal antara bagian croupon, leher, dan perut hanya sedikit, dan bagian-bagian tersebut permukaannya rata, dan kulit terasa padat (berisi)
2. Kulit berstruktur buntal (Gedrongen).
Kulit yang berstruktur buntal memiliki ciri-ciri sebagai berikut : Kulit tampak tebal, bila dilihat dari perbandingan natara berat dengan luas permukaan kulitnya, Perbedaan anatara croupon, leher, dan perut hanya sedikit.
3. Kulit berstruktu cukup baik.
Kulit yang berstruktur cukup baik memiliki ciri-cir sebagai berikut : kulit tidak begitu tebal, bila dilihat dari perbandingan antara berat dengan luas permukaan kulit, Kulit berisi dan tebalnya merata
4. Kulit berstruktur kurang baik.
Kulit yang berstruktur kurang baik memiliki ciri-ciri sebagai berikut : bagian croupon dan perut agak tipis, sedangkan bagian leher cukup tebal, Peralihan dari bagian kulit yang tebal ke bagian kulit yang tipis tampak begitu menyolok, dan Luas bagian perut agak berlebihan, sehingga bagian croupun luasnya berkurang.
5. Kulit brstruktur buruk.
Kulit yang berstruktur buruk memiliki ciri-ciri sebagai berikut : Bagian croupon tampak tipis dan kulit tidak berisi, sedangkan kulit bagian perut dan leher agak tebal, Pada umumnya berasal dari kulit binatang yang berusia tua, dan luas croupon agak berkurang dan bagian perut lebar.

g. Cacat Kulit dan Penyebabnya

Menurut Suaradana et al., ( 2008 ) kulit binatang sangat besar manfaatnya dan tinggi nilai harganya dalam pembuatan produk dari kulit untuk kebutuhan manusia. Karena besarnya manfaat dan tingginya harga kuiit binatang ini, maka faktor-faktor yang mempengaruhi peternakan hewan terhadap kualitas kulit binatang perlu diperhatikan, seperti pengaruh iklim, perkembangbiakan, makanan ternak, perawatan, dsb. Uraian berikut menjelaskan ada beberapa faktor yang berkaitan dengan kualitas kulit binatang agar tidak mengalami kecacatan dan berkualitas baik.
1. Pengaruh usaha ternak terhadap kualitas kulit.
Pada dasarnya usaha peternakan ditujukan untuk menghasilkan bahan makanan berupa daging, susu, bagi kebutuhan manusia. Akan tetapi usaha, usaha peternakan juga bisa menghasilkan kulit yang merupakan komoditas unggulan dan sejajar dengan hasil yang berupa bahan makanan. Karena harganya yang cukup tinggi, maka sekarang usaha peterna kan juga sangat memperhatikan faktor-faktor yang bisa meningkatkan kualitas kulit.

2. Pengaruh keadaan kulit terhadap kualitas kulit
Kulit yang berkualitas baik adalah kulit yang dihasilkan dari hewan yang sehat dan gizinya baik, sehingga menghasilkan kulit yang lemas dan dapat dilipat. Sedangkan kulit yang kualitasnya kurang adalah kulit yang dihasilkan dari hewan yang sakit atau kondisinya tidak sehat, sehingga kondisi kulit menjadi kaku dan kering. Bila kita memotong hewan yang akan diambil dagingnya, maka hewan tersebut harus dalam keadaan sehat, sehingga kulitnya pun berkualitas baik.
3. Pengaruh iklim terhadap kualitas kulit.
Temperatur, tekanan udara, kelembaban dan sebagainya merupakan faktor-faktor yang periu diperhatikan sebagai pengaruh iklim terhadap kualitas kulit. Peternakan hewan yang bertujuan untuk menghasilkan kulit binatang harus memperhatikan faktor-faktor tersebut agar kualitas kulit yang dihasilkan tetap baik. Setiap daerah mempunyai iklimnya sendiri, sehingga temak yang kulitnya akan diambil harus dipelihara sesuai dengan iklim yang cocok untuknya.
4. Pengaruh adaptasi terhadap kualitas kulit.
Perpindahan tempat akan berpengaruh terhadap hewan yang kulitnya akan diambil. Ada kalanya hewan tidak tahan terhadap bibit penyakit yang ada pada suatu daerah tempat ia berpindah. Hewan yang terkena penyakit akan menghasilkan kulit yang tidak berkualitas juga. Untuk itu, adaptasi hewan terhadap tempat baru juga harus mendapatkan perhatian.
5. Pengaruh makanan terhadap kualitas kulit
Makanan yang baik akan berpengaruh terhadap berat badan hewan dan kesehatannya. Berat badan hewan berpengaruh terhadap kualitas kulit yang dihasilkannya.
6. Pengaruh perawatan terhadap kualitas kulit
Kerusakan kulit juga merupakan akibat dari perawatan yang tidak baik terhadap hewan. Hal hal yang menyebabkan nilai kulit menurun misalnya hewan dicambuk, dipukul, terkena duri atau kawat, terbentur, dan sebagainya. Perlakuan semacam itu terhadap hewan akan berakibat peradangan atau luka pada kulit hewan, sehingga pada proses penyamakan akan menimbulkan tanda atau cacat yang mengurangi kualitas kulit.

Dalam penentuan kualitas kulit hewan, di samping faktor -faktor yang disebutkan di atas, ada faktor -faktor lain yang juga menentukan, yaitu pemotongan hewan, pengulitan dan proses penyamakan. Contoh-contoh penurunan kualitas kulit yang menyebabkan kecacatan kulit antara lain:
1. Pemeliharaan
 Hewan tidak dirawat dengan baik.
 Kesehatan hewan tidak diperhatikan
2. Makanan
 Hewan tidak mendapatkan makanan secara teratur
 Makanan tidak bergizi
3. Perlakuan
 Hewan dicambuk sampai luka
 Hewan luka karena penyakit
 Hewan tidak diobati
4. Pengulitan
 Cara pengulitan hewan tidak benar
 Pisau sayat tidak tajam/tumpul
5. Penyamakan
 Proses pengawetan yang tidak benar
 Terjadinya kesalahan pada proses penyamakan


h. Klasifikasi Kulit

Usaha dibidang pengolahan kulit mempunyai prospek jangka panjang yang cukup bagus, sehingga banyak bermunculan perusahaan – perusahaan pengolahan kulit baik skala nasional maupun internasional dalam pemasarannya, untuk menyeragamkan mutu/kualitas produk kulit di indonesia. Maka berdasarkan hal tersebut pemerintah indonesia menerbitkan Standar Nasional Indonesia ( SNI ) untuk standar seleksi kulit mentah standar industri, antara lain sebagai berikut :
1. Kulit Domba Mentah Basah
Standar ini meliputi Diskripsi, klasifikasi, persyaratan, penandaan dan pengemasan serta pengambilan contoh. yaitu sebagai berikut :

1) Diskripsi
Kulit Domba Mentah Basah adalah kulit yang diperoleh dari hasil pemotongan ternak domba, dimana kulit tersebut telah dipisahkan dari seluruh bagian dagingnya, baik yang segar maupun yang digarami.
2) Persyaratan
1) Kriteria dan spesifikasi
 Bau, berbau khas kulit domba
 Warna dan kebersihan, merata, segar/cerah, bersih dan tidak ada warna yang mencurigakan
 Bulu, tidak rontok
 Ukuran kulit, dasar penentuan ukuran kulit dipergunakan lembar kulit atau panjang kulit dalam cm/feet square
 Elastisitas, cukup elastis
 Kandungan air
• Kulit mentah segar, maksimum 66 %
• Kulit mentah garaman, maksimum 25 %
2) Cacat
 Mekanis : luka cambukan, goresan potongan pisau dan lain lain
 Parasit : caplak, lalat dan lain lain
• Bahan pengawet, garam Na CL khusus untuk kulit garaman
• Tehnik, kontaminasi dan hygiene
3) Tehnik
Kulit setelah dipisahkan dari karkas kemudian dibersihkan dari sisa-sisa daging/lemak yang menempel pada kulitKemudian kulit diawetkan dengan penggaraman dengan 2 cara yaitu:
a) Sistem pencelupan dalam larutan garam yaitu setelah kulit dibersihkan kemudian dicelupkan kedalam larutan garam jenuh selama ± 24 jam, lalu ditiriskan kemudian ditaburi kristal garam secukupnya untuk kemudian ditumpuk pada tempatnya.
b) Sistem penaburan garam kristal yaitu setelah kulit dibersihkan lalu ditaburi kristal garam secukupnya untuk kemudian ditumpuk pada tempatnya
Catatan : penumpukan kedua cara ini diperhatikan agar tumpukan kulit paling bawa diberi alas papan dan jangan mencuci kulit dengan air sebelum kulit digarami. Kulit siap untuk di proses lebih lanjut di industri penyamakan kulit.

4) Kontaminasi
Tidak terkontaminasi oleh mikroorganisme dan serangga serta larvanya.
5) Hygiene
Tempat penyimpanan harus bersih dan mudah dikontrol
6) Mutu kulit
1. Mutu kuit I,
Dengan syarat berbau kulit khas kulit domba cerah bersih, tidak ada cacat ( lubang-lubang , penebalan kulit ). Kandungan airnya pada kulit mentah segar maksimum 66 %, sedangkan pada kulit mentah garaman 25%.
2. Mutu II,
Dengan syarat berbau khas kulit domba, cerah, bersih, cukup elastis, terdapat sedikit cacat diluar daerah punggung (croupon) dan bulu tidak rontok. Kandungan airnya pada kulit mentah segar maksimum 66 %, sedangkan pada kulit mentah garaman maksimal 25 %.
3. Mutu kulit III,
Dengan syarat berbau khas kulit domba, warna tidak cerah, kurang elastis, tidak utuh/banyak cacat dan ada kerontokan bulu, Kandungan airnya pada kulit mentah segar maksimum 66 %, sedangkan pada kulit mentah garaman maksimal 25 %.
4. Afkir / Reject,
Menyimpang dari mutu I,II, dan III
7) Penandaan dan pengemasan
a) Penandaan
 Mutu kulit I
 Mutu kulit II
 Mutu kulit III
b) Pengemasan.
 Kulit dikemas berdasarkan lasifikasi mutu dengan memakai label yang berisi
 Nama pemilik
 Mutu kulit
 Jumlah lembar kulit
8) Pengambilan contoh
Cara pengambilan contoh, untuk setiap mutu contoh (sample) di ambil secara acak 5 % dari jumlah lembar kulit atau minimal 1 (satu) lembar kulit,diuji organoleptis dan diambil oleh petugas yang bersertifikat dan berpengalamanyang ditetapkan oleh direktur jendral peternakan atau pejabat yang ditunjuk olehnya. Pemeriksaan organoleptik dengan nomor : Nomor 008-MP / SPI- NAK.

2. Kulit Kambing Mentah Basah
Standar ini meliputi Diskripsi, Klasifikasi, Persyaratan, Penandaan dan Pengemasan serta pengambilan contoh. Yaitu sebagai berikut :
a. Deskripsi
Kulit kambing mentah basah adalah kulit yang diperoleh dari hasil pemotongan ternak kambing, dimana kulit tersebut telah dipisahkan dari seluruh bagian dagingnya, baik yang segar maupun yang digarami.
b. Persyaratan
1) Kriteria dan spesifikasi
 Bau, berbau khas kulit kambing
 Warna dan kebersihan, merata, segar/cerah, bersih dan tidak ada warna yang mencurigakan
 Bulu, tidak rontok
 Ukuran kulit, dasar penentuan ukuran kulit dipergunakan lembar kulit atau panjang kulit dalam cm/feet square
 Elastisitas, cukup elastis
 Kandungan air
• Kulit mentah segar, maksimum 66 %
• Kulit mentah garaman, maksimum 25 %
2) Cacat
 Mekanis : luka cambukan, goresan potongan pisau dan lain lain
 Termis : cap bakar/terkena api
 Parasit : caplak, lalat dan lain lain
 Termis : cap bakar/terkena api
• Bahan pengawet, garam Na CL khusus untuk kulit garaman
• Tehnik, kontaminasi dan hygiene
3) Tehnik
Kulit setelah dipisahkan dari karkas kemudian dibersihkan dari sisa-sisa daging/lemak yang menempel pada kulit
4) Kemudian kulit diawetkan dengan penggaraman dengan 2 cara yaitu:
a) Sistem pencelupan dalam larutan garam yaitu setelah kulit dibersihkan kemudian dicelupkan kedalam larutan garam jenuh selama ± 24 jam, lalu ditiriskan kemudian ditaburi kristal garam secukupnya untuk kemudian ditumpuk pada tempatnya.
b) Sistem penaburan garam kristal yaitu setelah kulit dibersihkan lalu ditaburi kristal garam secukupnya untuk kemudian ditumpuk pada tempatnya. Catatan : penumpukan kedua cara ini diperhatikan agar tumpukan kulit paling bawa diberi alas papan dan jangan mencuci kulit dengan air sebelum kulit digarami. Kulit siap untuk di proses lebih lanjut di industri penyamakan kulit
5) Kontaminasi
Tidak terkontaminasi oleh mikroorganisme dan serangga serta larvanya.
6) Hygiene
Tempat penyimpanan harus bersih dan mudah dikontrol.
Klasifikasi kualitas kulit domba mentah segar menurut (Purnomo, 1985 disitasi oleh Hoeruman, 2000), adalah sebagai berikut :
1. Kelas satu
Kulit harus berasal dari hewan sehat, pemotongan dan persiapan yang benar, bebas dari lemak, sisa daging dan kontaminasi tanda cacat. Setiap tanda, irisan, bekas penyakit, kerontokan rambut, hancur, kerusakan karena asap, air dan serangga atau penyimpanan yang jelek akan menurunkan kelas kulit. Berat kulit harus 450 g atau lebih
2. Kelas dua
Kulit kelas dua seperti kulit kelas satu tetapi terdapat sedikit kerusakan pada satu sisi saja. Berat kulit tidak boleh kutang dari 340 g.
3. Kelas tiga
Kulit kelas tiga mungkin menunjukan dua dari cacat–cacat dibawah ini :
 Tanda cap kecil
 Irisan dan lubang pada bagian perut
 Sedikit rusak atau bulu rontok pada bagian perut
 Kerusakan oleh asap, air, serangga pada bagian tepi. Berat kulit tidak boleh kurang dari 300 g
4. Kelas empat
Kulit kelas empat adalah semua kulit dibawah kulit kelas tiga . berat kulit harus lebih dari 200 g
5. Kelas reject/penolakan
Kulit ditolak bila beratnya kurang dari 230 g, berasal dari hewan muda dan yang menunjukan kerusakan ekstensif dari berbagai sebab pada bagian tengah, sehingga tidak memadai untuk disamak.




i. Metode Seleksi

Walaupun proses pengolahan atau pengawetan kulit telah dilakukan dengan hati-hati dan menurut ketentuan yang benar, namun ternyata hasilnya tidak selalu seperti yang diharapkan. Kemungkinan setelah kering, kulit menjadi tidak sama kualitasnya.
Memilah kulit bukanlah hal yang mudah karena sangat berpengaruh terhadap kualitas hasil produk yang akan dihasilkan. Dari setiap jenis ternak akan berbeda semisal melalui ukuran, kualitas dan beratnya, seperti diterangkan oleh Suardana et al, (2008) bahwa dalam perdagangan, kulit dapat dikelompokkan/dikelaskan berdasarkan kualitas dan beratnya, namun untuk kambing dan domba diseleksi berdasarkan ukuran bukan beratnya dikelaskan menjadi beberapa kualitas yaitu :
1. Kelas I, adalah kulit yang panjangnya 100 cm, lebar 70 cm
2. Kelas II, adalah kulit yang panjangnya 100 cm, lebar 60 cm.
3. Kelas III, adalah kulit yang panjangnya 90 cm, lebar 55 cm.
4. Kelas IV, adalah kulit yang panjangnya 80 cm, lebar 50
5. Kelas V, adalah kulit yang panjangnya 70 cm, lebar 45 cm
6. Kelas afkir, adalah kulit yang panjangnya kurang dari 70 cm.
Pengusaha kulit menyamak sendiri kulit yang akan diolah menjadi kerajinan untuk menjaga kualitas produk yang dihasilkan sehingga menerima kulit dari pengumpul kulit dalam bentuk kulit garaman seperti yang dikemukakan Gumilar (2010) bahwa sebagian besar pengrajin penyamakan kulit melakukan prosesing kulit dimulai dari kulit mentah garaman yang didapat dari bandar kulit sampai dengan menjadi kulit jadi (leather), sedangkan sebagian kecil saja dari pengrajin tersebut memulai proses produksinya dari kulit pikel. Perdagangan kulit jadi dilakukan berdasarkan satuan luas kulit (square feet). Pembelian kulit domba mentah segar dilakukan dalam satuan lembar dan pada awal proses serta beberapa tahapan proses lainnya dilakukan penimbangan untuk mengetahui berat kulit yang akan diproses sebagai dasar penggunaan bahan kimia. Square feet merupakan satuan luas, dengan perbandingan square feet ke square meter ( m2 ) adalah 0,092903 m2 ( 30,48 cm2 x 30,48 cm2 ), menurut Widarto (2008).
Read More...