Kita sering menjumpai satu spesies tertentu pada tempat-tempat tertentu yang relative sama, misalnya kita menjumpai penguin di banyak tempat dengan suhu yang dingin, namun kita tidak menjumpainya di tengah padang pasir yang panas atau ditengah savana. Hal ini terjadi karena setiap jenis hewan tertentu memiliki kisaran suhu terterntu sehingga hewan tersebut dapat survive.
Tidak ada satupun makhluk hidup yang dapat hidup disemua tempat dengan berbagai kondisi. Setiap jenis hewan memiliki kisaran toleransi tertentu terhadap kondisi laingkungan sekitarnya, khususnya faktor abiotik. Dalam kisaran kondisi faktor yang dapat ditolelir oleh hewan tersebut, ia menunjukkan preferensi terhadap suatu kisaran kondisi yang paling cocok baginya, hal ini kita kenal sebagai preferendumnya.
Tanggapan suatu individu ektoterm terhadap suhu tidak tentu, tanggapan itu dipengaruhi suhu yang dialami di masa lampau. Suatu individu yang dikenal suhu yang nisbi tinggi untuk beberapa hari (atau mungkin kurang dari itu) dapat tergeser keseluruhan tanggapan terhadap suhu ke atas sepanjang skala suhu, dan beberapa hari dikenai suhu nisbi rendah dapat menggeser tanggapan itu ke bawah. Proses ini biasanya disebut sebagai aklimasi jika perubahan dilaksanakan di kondisi laboratorium dan aklimatisasi jika terjadi di lapangan. Aklimatisasi yang terlalu cepat dapat merupakan malapetaka. Di samping itu individu dalam aklimatisasi biasanya berbeda dalam tanggapan terhadap suhu tergantung pada stadium yang manakah yang dicapainya (Soetjipta, 1993: 58).
Dalam Pudyo,2000 (24-25), hewan-hewan air biasanya mempunyai rentangan toleransi yang sempit terhadap suhu. Hal ini berhubungan dengan rentangan perubahan suhu air yang tidak terlalu jauh. Meskipun beberapa jenis hewan dapat bertahan hidup pada suhu ekstrem atas atau bawah, tetapi kebanyakan hewan hanya bertahan hidup pada temperatur yang sesuai dengan kemampuan adaptasinya. Perubahan temperatur juga berpengaruh terhadap perkembangbiakan dan pertumbuhan hewan.
Fungsi suatu makhluk dikendalikan atau dibatasi oleh faktor lingkungan yang esensial atau oleh gabungan faktor yang ada di dalam jumlah yang paling tidak layak kecilnya, sebagaimana ditunjukkan di dalam Hukum Minimum Liebig. Faktor tersebut mungkin tidak secara kontinyu efektif, tetapi hanya pada beberapa saat kritis dalam tahun atau barangkali hanya selama beberapa tahun yang kritis di dalam suatu daur iklim. Suatu faktor pembatas bukan hanya sesuatu yang tersedianya terlalu sedikit, seperti yang diusulkan oleh Liebig, tetapi yang terlalu banyak pun seperti dalam hal faktor sebagai misalnya panas, cahaya, dan air dapat pula merupakan faktor pembatas. Untuk tiap-tiap spesies ada suatu kisaran dalam suatu faktor lingkungan (Soetjipta, 1993: 37-39).
Sesungguhnya kebanyakan spesies dan kebanyakan aktifitas hanya terbatas di kisaran suhu yang lebih sempit. Beberapa makhluk, terutama yang sedang di dalam tingkat beristirahat, dapat ada daln suhu sangat rendah dalam waktu yang singkat, sedangkan beberapa mikroorganisme terutama bacteria dan algae dapat hidup dan bereproduksi di dalam mata air panas yang suhunya mendekati suhuair mendidih. Makhluk bersifat peka terhadap perubahan suhu, dank arena suhu mudah diukur maka seringkali suhu dilebih-lebihkan sebagai faktor pembatas. Harus dijaga jangan sampai berasumsi bahwa suhu bersifat sebagai faktor pembatas, bila faktor lainnya yang tidak diukur justru mungkin lebih penting (Soetjipta, 1993: 41-43).
Sumber Artikel : www.iqbalali.com
0 komentar:
Post a Comment