Recent Articles

Tuesday, August 16, 2011

INDUSTRI BAHAN PEWARNA DAN PENCELUP




1. Sejarah Industri Pewarna dan Pencelupan
Sejak 2500 tahun sebelum masehi pewarnaan pada bahan tekstil telah dikenal di negeri Cina, India dan Mesir. Pada umumnya pewarnaan bahan tekstil dikerjakan dengan zat-zat warna yang berasal dari alam, misalnya dari tumbuh-tumbuhan, binatang dan mineral-mineral. Pencelupan yang mereka lakukan memerlukan waktu yang lama dan sulit. Demikian pula sifat-sifat zat warna alam pada umumnya kurang baik, misalnya jarang diperoleh dalam keadaan murni, kadarnya tidak tetap, warnanya terbatas, sukar pemakaiannya, serta ketahanan atau kecerahannya kurang baik.
Baru pada tahun 1856 William Henry Perkin seorang mahasiswa berkebangsaan Inggris menemukan senyawa Mauvein dari proses oksidasi senyawa anilin tidak murni. Senyawa tersebut merupakan zat warna sintetik pertama kali diketemukan orang, dan merupakan zat warna basa yang dapat mencelup serat-serat binatang secara langsung. Kemudian diikuti penemuan zat warna asam dengan proses pengsulfonan zat warna basa oleh Nicholson pada tahun 1862. Lightfoot pada tahun 1863 mencelup serat kapas dengan senyawa anilin yang dioksidasi di dalam serat, yang kemudian dikenal sebagai zat warna Hitam Anilin.


Berdasarkan pada reaksi diazotasi dan kopeling pada 1865 dibuat zat warna Bismark Brown dengan mereaksikan senyawa antara metafenilen diamina. Reaksi-reaksi tersebut diikuti dengan penemuan pencelupan dengan naftol dan garam diazonium pada 1880 oleh Road dan Holliday, dan pada tahun 1884 dibuat zat warna direk pertama yang disebut Congo Red.
Zat warna belerang diketemukan oleh Raymond Vidal pada tahun 1893 dengan memanaskan senyawa natrium paranitro fenol. Pada tahun 1901 Rene Bohn membuat zat warna bejana Indahthrene Blue. BASF memproduksi zat warna Ergan, yakni zat warna kompleks khrom dari zat warna azo asam salisilat, dan Grisheim Elektron memproduksi naftol AS kira-kira pada tahun 1912 yang kemudian diikuti zat warna Neolan oleh Society of Chemical Industry pada tahun 1915. Zat warna Rapid Fast yang merupakan campuran senyawa naftol dan garam diazonium yang distabilkan diketemukan sekitar tahun 1920.
Perkembangan zat warna bejana yang larut muncul pada akhir tahun 1912, setelah diketemukan oleh Bader dan Sunder senyawa Indogosol, zat warna untuk mencelup serat-serat hidrofob dikembangkan oleh ICI, dengan diproduksinya zat warna Solacet pada tahun 1936. Kemudian kemajuan zat warna sintetik lebih menonjol lagi setelah diketemukannya zat warna reaktif untuk serat selulosa pada tahun 1956 oleh Imperial Chemical Industry dengan nama dagang Procion.
Pada waktu sekarang hampir semua pewarnaan bahan tekstil dikerjakan dengan zat-zat warna sitentik, karena sifat-sifatnya yang jauh lebih baik dari zat-zat warna alam, misalnya mudah diperoleh komposisi yang tetap, mempunyai aneka warna yang banyak dan mudah cara pemakaiannya.
2. Pengertian Bahan Pewarna dan Pencelup
Pencelupan adalah proses pemberian warna secara merata pada bahan tekstil baik berupa serat, benang maupun kain. Pemberian warna tersebut dilakukan dengan berbagai cara, bergantung pada jenis serat, zat warna dan mesin yang digunakan.
Zat warna tekstil masing–masing mempunyai sifat–sifat tertentu, baik sifat tahan luntur maupun dalam cara pemakaiannya. Zat pewarna secara sederhana dapat didefinisikan sebagai suatu benda berwarna yang memiliki afinitas kimia terhadap benda yang diwarnainya. Bahan pewarna pada umumnya memiliki bentuk cair dan larut di air. Pada berbagai situasi, proses pewarnaan menggunakan mordant untuk meningkatkan kemampuan menempel bahan pewarna.
3. Jenis-jenis Zat Warna
a. Klasifikasi Zat Warna
Zat warna dapat digolongkan menurut cara diperolehnya, yaitu zat warna alam dan zat warna sintetik. Berdasarkan sifat pencelupannya, zat warna dapat digolongkan sebagai zat warna substantif, yaitu zat warna yang langsung dapat mewarnai serat dan zat warna ajektif, yaitu zat warna yang memerlukan zat pembantu pokok untuk dapat mewarnai serat.
Berdasarkan warna yang ditimbulkan zat warna digongkan menjadi zat warna monogenetik yaitu zat warna yang hanya memberikan arah satu warna dan zat warna poligenetik yaitu zat warna yang memberikan beberapa arah warna. Penggolongan lainnya adalah berdasarkan susunan kimia atau inti zat warna tersebut, yaitu zat warna – nitroso, mordan, belerang, bejana, naftol, disperse dan reaktif.
b. Syarat-syarat Zat Warna
Yang dimaksud dengan zat warna ialah semua zat berwarna yang mempunyai kemampuan untuk dicelupkan pada serat tekstil dan memiliki sifat ketahanan luntur warna (permanent). Jadi sesuatu zat dapat berlaku sebagai zat warna, apabila :
 Zat warna tersebut mempunyai gugus yang dapat menimbulkan warna (chromofor), misalnya : nitro, nitroso, dan sebagainya.
 Zat warna tersebut mempunyai gugus yang dapat mempunyai afinitas terhadap serat tekstil auxsochrom misalnya amino, hidroksil dansebagainya.
Zat-zat seperti cat tembok, cat besi, bahan pewarna kue walaupun berwarna karena tidak mempunyai afinitas (kemampuan mengadakan ikatan) terhadap serat tekstil tidak dapat digolongkan sebagai zat warna. Di dalam perdagangan zat warna itu mempunyai nama yang bermacam-macam, bergantung kepada jenis dan pabrik pembuatnya. Pada dasarnya cara pemberian nama suatu zat warna mengandung 3 pengertian pokok, yaitu :
1. Nama pokok, yang menunjukkan golongan zat warna dan pabrik pembuatnya, misalnya Procion, adalah zat warna reaktif buatan I.C.I.
2. Warna, yang menunjukkan warna dari zat warna tersebut, misalnya Yellow, Red dan sebagainya.
3. Satu atau lebih huruf/angka yang menunjukkan arah warna, konsentrasi, mutu atau cara pamakaiannya, misalnya M X R, yang berarti :
 M – jenis zat warna Procion dingin
 X – pemakaian dengan cara perendaman (exhaustion)
 R – arah warna kemerahan
c. Pemilihan Zat Warna untuk Serat Tekstil
Perkembangan yang pesat dari industri tekstil akan mengakibatkan meningkatnya kebutuhan bahan zat warna yang berguna untuk mewarnai bahan-bahan tekstil. Dewasa ini dipergunakan bermacam-macam jenis zat warna bergantung pada jenis serat yang akan diwarnai macam warna, tahan luntur yang diinginkan, faktor-faktor teknis dan ekonomis lainnya. Di dalam praktik zat warna tekstil tidak digolongkan berdasarkan struktur kimianya, melainkan berdasarkan sifat-sifat pencelupan maupun cara penggunaannya. Zat-zat warna tersebut dapat digolongkan sebagai berikut :
 Zat warna asam
Zat warna ini merupakan garam natrium dari asam-asam organik misalnya asam sulfonat atau asam karboksilat. Zat warna ini dipergunakan dalam suasana asam dan memiliki daya tembus langsung terhadap serat-serat protein atau poliamida.
 Zat warna basa
Zat warna ini umumnya merupakan garam-garam khlorida atau oksalat dari basa-basa organik, misalnya basa amonium, oksonium dan sering pula merupakan garam rangkap dengan seng khlorida.
Oleh karena khromofor dari zat warna ini terdapat pada kationnya maka zat warna ini kadang-kadang juga disebut zat warna kation. Warna-warnanya cerah tetapi tahan luntur warnanya kurang baik. Zat warna ini mempunyai daya tembus langsung terhadap serat-serat protein.
Beberapa zat warna basa yang telah dikembangkan dapat juga dipergunakan untuk mewarnai serat poliakrilat. Pada serat tersebut zat warna basa memiliki tahan luntur dan tahan sinar yang lebih baik.
 Zat warna direk
Zat warna ini menyerupai zat warna asam, yakni merupakan garam natrium dari asam sulfonat dan hampir seluruhnya merupakan senyawa-senyawa azo. Zat warna ini mempunyai daya tembus langsung terhadap serat-serat selulosa, maka kadang-kadang juga disebut zat warna substanstif.
Meskipun zat warna ini dapat dipergunakan untuk mewarnai serat-serat protein tetapi jarang dipergunakan untuk maksud tersebut. Golongan zat warna ini memiliki macam warna yang cukup banyak, tetapi tahan luntur warnanya kurang baik.
 Zat warna mordan dan kompleks logam
Zat warna ini tidak mempunyai daya tembus terhadap serat-serat tekstil, tetapi dapat bersenyawa dengan oksida-oksida logam yang dipergunakan sebagai mordan, membentuk senyawa yang tidak larut dalam air. Zat warna mordanasam dipergunakan untuk mewarnai serat-serat wol atau poliamida sepertihalnya zat warna asam tetapi memiliki tahan luntur yang baik.
Zat warna kompleks logam merupakan perkembangan terakhir dari zat warna mordan. Dalam pencelupan dengan zat warna mordan timbul kesukaran karena terjadinya perubahan warna yang diakibatkan oleh senyawa-senyawa logam. Untuk mengatasi kesulitan tersebut zat warna kompleks logam dibuat dengan mereaksikan khrom dengan molekul-molekul zat warna.
 Zat warna belerang
Zat warna ini merupakan senyawa organik kompleks yang mengandung belerang pada sistim khromofornya dan gugusan sampingnya yang berguna dalam pencelupan. Zat warna ini terutama digunakan untuk serat-serat selulosa untuk mendapatkan tahan luntur warna terhadap pencucian dengan nilai yang baik tetapi dengan biaya yang rendah. Warna-warna yang dihasilkan oleh zat warna ini biasanya suram.
 Zat warna bejana
Zat warna ini tidak larut dalam air tetapi dapat dirubah menjadi senyawa leuco yang larut dengan penambahan senyawa reduktor natrium hidrosulfit dan natrium hiroksida. Serat-serat selulosa mempunyai daya serap terhadap senyawa leuko tersebut, yang setelah diserap oleh serat dapat dirubah menjadi bentuk pigmen yang tidak larut lagi dalam air dengan menggunakan senyawa oksidator. Untuk mempermudah cara pemakaiannya zat warna ini telah dikembangkan menjadi zat warna bejana yang larut dengan cara mengubah strukturnya menjadi garam natrium dari ester asam sulfat. Zat warna yang larut ini dapat dikembalikan ke dalam struktur aslinya di dalam serat dengan cara oksidasi dalam suasana asam.
 Zat warna dispersi
Zat warna ini tidak larut dalam air tetapi mudah didispersikan atau disuspensikan dalam air. Dalam perdagangan dijual sebagai bubuk. Zat warna ini digunakan untuk mewarnai serat-srat yang bersifat hidrofob.
 Zat warna reaktif
Zat warna ini dapat bereaksi dengan selulosa atau protein sehingga memberikan tahan luntur warna yang baik. Reaktifitas zat warna ini bermacammacam, sehingga sebagian dapat digunakan pada suhu rendah sedangkan yang lain harus digunakan pada suhu tinggi.
 Zat warna naftol
Zat warna ini merupakan zat warna yang tidak larut dan terbentuk di dalam serat dari dua komponen pembentuknya. Golongan zat warna ini terutama untuk mewarnai serat selulosa dengan warna-warna cerah terutama warna merah. Ketahanannya baik kecuali tahan gosoknya.
 Zat warna pigmen
Zat warna ini tidak larut dalam air dan tidak mempunyai daya tembus terhadapserat tekstil. Dalam pemakaiannya zat warna ini dicampur dengan resin sebagai pengikat. Oleh karena zat warna tersebut menempel pada serat dengan adanya resin sebagai pengikat, hal ini mengakibatkan pegangan kainnya menjadi kaku dan tahan gosoknya kurang baik.
 Zat warna oksidasi
Pada prinsipnya zat warna ini merupakan suatu senyawa antara dengan berat molekul rendah, yang dicelupkan dan kemudian dioksidasikan dalam serat dalam suasana asam untuk membentuk molekul berwarna yang lebih besar dan tidak larut.
Di antara zat warna yang masih digunakan adalah Hitam Anilin terutama untuk pencapan. Dari uraian tersebut di atas jelaslah bahwa tiap-tiap jenis zat warna mempunyai kegunaan tertentu dan sifat-sifat yang tertentu pula. Pemilihan zat warna yang akan dipakai bergantung pada bermacam-macam faktor antara lain :
1) Jenis serat yang diwarnai
2) Macam warna yang dipilih dan warna-warna yang tersedia di dalam jenis zat warna.
3) Tahan luntur warna yang diinginkan.
4) Peralatan produksi yang tersedia dan
5) Biaya
4. Pengolahan Bahan Pewarna dan Pencelup dalam Skala Industri
a. Teori Pencelupan
Pencelupan pada umumnya terdiri dari melarutkan atau mendispersikan zat warna dalam air atau medium lain, kemudian memasukkan bahan tekstil ke dalam larutan tersebut sehingga terjadi penyerapan zat warna ke dalam serat. Penyerapan zat warna ke dalam serat merupakan suatu reaksi eksotermik dan reaksi keseimbangan. Beberapa zat pembantu misalnya garam, asam, alkali atau lainnya ditambahkan ke dalam larutan celup dan kemudian pencelupan diteruskan hingga diperoleh warna yang dikehendaki. Vickerstaf menyimpulkan bahwa dalam pencelupan terjadi tiga tahap : Tahap pertama merupakan molekul zat warna dalam larutan yang selalu bergerak, pada suhu tinggi gerakan molekul lebih cepat kemudian bahan tekstil dimasukkan ke dalam larutan celup.
Serat tekstil dalam larutan bersifat negatif pada permukaannya sehingga dalam tahap ini terdapat dua kemungkinan yakni molekul zat warna akan tertarik oleh serat atau tertolak menjauhi serat. Oleh karena itu perlu penambahan zat-zat pembantu untuk mendorong zat warna lebih mudah mendekati permukaan serat. Peristiwa tahap pertama tersebut sering disebut zat warna dalam larutan.
Dalam tahap kedua molekul zat warna yang mempunyai tenaga yang cukup besar dapat mengatasi gaya-gaya tolak dari permukaan serat, sehingga molekul zat warna tersebut dapat terserap menempel pada permukaan serat. Peristiwa ini disebut adsorpsi.
Tahap ketiga yang merupakan bagian yang terpenting dalam pencelupan adalah penetrasi atau difusi zat warna dari permukaan serat ke pusat. Tahap ketiga merupakan proses yang paling lambat sehingga dipergunakan sebagai ukuran untuk menentukan kecepatan celup.
b. Gaya-gaya Ikat pada Pencelupan
Agar supaya pencelupan dan hasil celupan baik dan tahan cuci maka gayagaya ikat antara zat warna dan serat harus lebih besar dari pada gaya-gaya yang bekerja antara zat warna dan air. Hal tersebut dapat tercapai apabila molekul zat warna mempunyai susunan atom-atom yang tertentu, sehingga akan memberikan daya tembus yang baik terhadap serat dan pula member ikatan yang kuat.
Pada dasarnya dalam pencelupan terdapat empat jenis gaya ikat yang menyebabkan adanya daya tembus atau tahan cuci suatu zat warna pada serat, yaitu :
 Ikatan hidrogen
Ikatan hidrogen merupakan ikatan sekunder yang terbentuk karena atom hidrogen pada gugusan hidroksi atau amina mengadakan ikatan yang lemah dengan atom lainnya, misalnya molekul-molekul air yang mendidih pada suhu yang jauh lebih tinggi daripada molekul-molekul senyawa alkana dengan berat yang sama.
H – O – H
H
H – O – H O
H
Pada umumnya molekul –molekul zat warna dan serat mengandung gugusangugusan yang memungkinkan terbentuknya ikatan hidrogen.
 Ikatan elektrovalen
Ikatan antara zat warna dan serat yang kedua merupakan ikatan yang timbul karena gaya tarik-menarik antara muatan yang berlawanan. Dalam air seratserat bermuatan negatif sedangkan pada umumnya zat warna yang larut merupakan suatu anion sehingga penetrasi akan terhalang. Oleh karena itu perlu penambahan zat-zat yang berfungsi menghilangkan atau mengurangi sifat negatif dari serat atau zat warna, sehingga zat warna dan serat dapat lebih saling mendekat dan gaya-gaya non polar dapat bekerja lebih baik. Maka pada pencelupan serat-serat selulosa perlu penambahan elektrolit, misalnya garam dapur atau garam glauber dan pada pencelupan serat wol atau poliamida perlu penambahan asam. Untuk pencelupan serat wol dapat digambarkan sebagai berikut :
W – NH3+ -OOC – W
↓HX
W – NH3+ HOOC – W
↓NaZw
W – NH3+ HOOC – W
↓Zw
Keterangan :
W = Serat wol
HX = Molekul asam
NaZw = Molekul zat warna
Gugusan amina dan karboksil pada serat wol di dalam larutan akan terionisasi. Bila ke dalamnya ditambahkan suatu asam maka ion hidrogen langsung diserap oleh wol dan menetralkan ion karboksilat sehingga serat wol akan bermuatan positif yang kemudian langsung menyerap anion asam.
Pada tahap selanjutnya anion zat warna yang berkerak lebih lambat karena molekul lebih besar akan masuk ke dalam serat dan mengganti kedudukan anion asam. Hal tersebut mungkin sekali terjadi karena selain penarikan oleh muatan yang berlawanan juga terjadi gaya-gaya non-polar.
 Gaya-gaya non polar
Pada umumnya terdapat kecenderungan bahwa atom-atom atau molekul-molekul satu dan lainnya saling tarik menarik. Pada proses pencelupan daya tarik antara zat warna dan serat akan bekerja lebih sempurna bila molekul-molekul zat warna tersebut berbentuk memanjang dan datar, atau antara molekul zat warna dan serat mempunyai gugusan hidrokarbon yang sesuai sehingga waktu pencelupan zat warna ingin lepas dari air dan bergabung dengan serat. Gaya-gaya tersebut sering disebut gaya-gaya Van der Waals yang mungkin merupakan gaya-gaya dispersi, London ataupun ikatan hidrofob.
 Ikatan kovalen
Zat warna reaktif terikat pada serat dengan ikatan kovalen yang sifatnya lebih kuat dari pada ikatan-ikatan lainnya sehingga sukar dilunturkan. Meskipun demikian dengan pengerjaan larutan asam atau alkali yang kuat beberapa celupan zat warna reaktif akan meluntur.
c. Kecepatan Celup
Perjalanan zat warna melalui pori-pori di dalam serat yang sempit dan demikian pula struktur benang atau kain yang mampat akan menahan kecepatan celup. Kecepatan celup seringkali dinyatakan dengan waktu setengah celup yakni waktu yang dibutuhkan untuk mencelup bahan tekstil dengan jumlah zat warna yang terserap setengah dari zat warna yang terserap pada keadaan setimbang.
Kelanjutan perembesan zat warna masuk ke dalam serat ditentukan oleh koefisien difusinya yang dapat didefinisikan sebagai bilangan yang menunjukkan jumlah zat warna yang melalui sesuatu luas dan waktu yang tertentu pada gradien konsentrasi yang telah dipastikan.
Dalam praktek sifat-sifat zat warna yang memberikan pencelupan yang sangat cepat ataupun sangat lambat tidak dikehendaki. Pencelupan yang sangat cepat mempunyai kecenderungan sukar rata, sedangkan pencelupan yang sangat lambat akan menambah biaya-biaya pengerjaan dan sering mudah merusak serat yang dicelup. Oleh karena itu ahli celup harus mampu menggunakan beberapa sarana untuk mengatur agar supaya kecepatan celup dalam sesuatu proses pencelupan menjadi optimum. Sarana tersebut mungkin merupakan pengaturan suhu celup atau penambahan zat-zat kimia yang membantu agar diperoleh hasil celupan yang baik.
d. Pengaruh Perubahan Suhu
Suhu dalam pencelupan memberikan pengaruh-pengaruh sebagai berikut :
 Mempercepat pencelupan
 Menurunkan jumlah zat warna yang terserap
 Mempercepat migrasi yakni perataan zat warna dari bagian-bagian yang tercelup tua ke bagian-bagian yang tercelup lebih muda hingga terjadi kesetimbangan
 Mendorong terjadinya reaksi antara serat dan zat warna pada pencelupan zat warna reaktif.
Pengaruh suhu yang berlawanan, misalnya antara kecepatan celup dan daya tembus pada umumnya tidak mudah diamati dengan pasti di dalam praktik, biasanya apabila suhu celup dinaikkan tampak bahwa hasil celupan akan lebih tua. Dalam hal ini memang demikian karena kecepatan celup sudah bertambah besar sedangkan kesetimbangan celup masih jauh dapat dicapai.
e. Pengaruh Bentuk dan Ukuran Molekul Zat Warna
Bentuk dan ukuran sesuatu molekul zat warna mempunyai pengaruh yang penting terhadap sifat-sifat dalam pencelupan, misalnya :
 Daya tembus
Molekul-molekul zat warna yang datar memberikan daya tembus pada serat, tetapi setiap penambahan gugusan kimia yang merusak sifat datar molekul tersebut akan mengakibatkan daya tembus zat warna berkurang.
 Kecepatan celup
Besar serta kelangsingan atau penambahan sesuatu zat warna akan mempengaruhi kecepatan celupnya. Molekul zat warna yang memanjang mempunyai daya untuk melewati pori-pori dalam serat lebih baik dari pada molekul-molekul yang melebar.
 Ketahanan
Pada sederetan zat warna asam yang mempunyai gugusan pelarut yang sama jumlahnya, ketahanan cucinya sebagian besar ditentukan oleh berat molekul atau ukuran besar molekulnya. Molekul yang besar akan mempunyai ketahanan cuci yang lebih baik.
f. Mekanisme Pencelupan
Pencelupan pada umumnya terdiri dari melarutkan atau mendispersikan zat warna dalam air atau medium lain, kemudian memasukkan bahan tekstil ke dalam larutan tersebut, sehingga terjadi penyerapan zat warna ke dalam serat. Penyerapan ini terjadi karena reaksi eksotermik (mengeluarkan panas) dan keseimbangan. Jadi pada pencelupan terjadi tiga peristiwa penting, yaitu :
1. Melarutkan zat warna dan mengusahakan agar larutan zat warna bergerak menempel pada bahan. Peristiwa ini disebut migrasi.
2. Mendorong larutan zat warna agar dapat terserap menempel pada bahan. Peristiwa ini disebut adsorpsi.
3. Penyerapan zat warna dari permukaan bahan ke dalam bahan. Peristiwa ini disebut difusi, kemudian terjadi fiksasi. Pada tahap ini diperlukan bantuan luar, seperti : menaikkan suhu, menambah zat pembantu lain seperti garam dapur, asam dan lain-lain.

Baik tidaknya hasil pencelupan sangat ditentukan oleh ketiga tingkatan pencelupan tersebut. Apabila zat warna terlalu cepat terfiksasi maka kemungkinan diperoleh celupan yang tidak rata. Sebaliknya, apabila zat warna memerlukan waktu yang cukup lama untuk fiksasinya, agar diperoleh waktu yang sesuai dengan yang diharapkan, diperlukan peningkatan suhu atau penambahan zat-zat pembantu lainnya. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka dalam pencelupan faktor-faktor pendorong seperti suhu, penambahan zat pembantu dan lamanya pencelupan perlu mendapatkan perhatian yang sempurna. Zat warna dapat terserap ke dalam bahan sehingga mempunyai sifat tahan cuci.

0 komentar: